Mediasi dalam Pusaran Konflik Agraria

25 November 2019

Sejak zaman dahulu kala, hal kuasa atas tanah telah menjadi sumber konflik di bumi nusantara. Pemerintah Kolonial Belanda menetapkan bahwa tanah-tanah dan hutan masyarakat pribumi, masyarakat adat harus menjadi milik negara dan kemudian dirumuskan Pemerintah Republik Indonesia menjadi kebijakan.

Di Jambi misalnya, tidak ada satupun kelompok masyarakat adat yang tidak tinggal dan berpenghidupan di tanah-tanah yang statusnya menurut pemerintah adalah Kawasan Hutan Negara atau Areal Penggunaan Lain. Bahkan tanah-tanah tersebut ada yang sudah dikonsesikan kepada perusahaan-perusahaan kehutanan dan perkebunan.

Seperti yang dialami Suku Anak Dalam (SAD) di Desa Muara Kilis, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo, Jambi. SAD Muara Kilis kelompok Tumenggung Agung, -demikian sebutan kelompok ini seturut nama pemimpinnya, asalnya adalah kelompok masyarakat yang hidup tidak menetap di satu tempat. Mereka menjelajah sambil berburu dan meramu di hutan-hutan luas di wilayah yang kini menjadi Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Jambi.

Di area yang statusnya adalah Kawasan Hutan dengan fungsi Hutan Produksi, pada tahun 2009 wilayah mereka ternyata dikonsesikan kepada sebuah perusahan pemegang izin hutan tanaman industri.

Sejak itu pula, konflik pertanahan antara negara dengan kelompok masyarakat ini bergeser menjadi konflik antara warga SAD Muara Kilis kelompok Tumenggung Agung dengan perusahaan konsesi tersebut.

Sebagai bagian dari mencari solusi atas lahan, proses mediasi dimulai di akhir 2017 dan pada Agustus 2018. SAD kelompok Tumenggung Agung dan perusahaan melakukan perundingan yang dimediasi oleh CRU-IBCSD (Conflict Resolution Unit – Indonesia Business Counsel for Sustainable Development). Perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang pelaksanaannya sampai Juli 2019 dipantau oleh Tim Mediator CRU-IBCSD.

Lalu apa sebenarnya peran mediasi, dan apa yang menjadi kunci keberhasilannya?

Belajar dari kasus di atas, penekanan mediasi adalah lebih dari sekedar seperangkat nilai dan cita-cita yang memandu para pihak untuk berperilaku dan membuat keputusan berkaitan dengan konflik yang dialaminya. Nilai-nilai dan cita-cita perdamaian itulah yang lebih penting dibanding, misalnya, profesionalisme proses dan para pelaku mediasi (mediator dan pihak-pihak yang berkonflik), kapasitas intelektual dan sosial, atau strategi dan teknik bermediasi.

Model Standard Mediasi

Praktek-praktek mediasi yang kini semakin sering terjadi adalah yang umum dikenali sebagai mediasi model Amerika. Pada bulan September 2005 diterbitkan panduan Model Standards of Conduct for Mediators, kira-kira berarti model standar perilaku mediator. Model standar ini diadopsi oleh tiga organisasi utama dalam soal mediasi di sana, yaitu Association for Conflict Resolution, American Arbitration Association, dan American Bar Association.

Nampaknya mengikuti model Amerika inilah mediasi kini menjadi semakin populer dan dipakai untuk menangani begitu banyaknya konflik, -khususnya agraria, di Indonesia. Berbagai lembaga penyedia jasa mediasi bermunculan, pun pelatihan-pelatihan, sertifikasi mediator, proyek dan kegiatan penyelesaian konflik melalui mediasi, juga tentu saja pengaturan-pengaturan oleh Mahkamah Agung.

Konflik agraria bermuara dari ketimpangan struktur dan hak legal atas tanah. Sebagai contoh konflik antara warga Takalar, Sulsel dengan pihak PTPN XIV yang telah berlangsung sejak 2007. Sejumlah lahan warga yang telah ditanami dibongkar paksa menggunakan alat berat. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

Beberapa prinsip penting mediasi model ini adalah kehendak bebas dan kesukarelaan, ketidakberpihakan mediator, kerahasiaan, kesetaraan kekuatan dan kapasitas para pihak, dan kedaulatan para pihak dalam pengambilan keputusan.

Bagi mediator sendiri disyaratkan bahwa selain ketidakberpihakan juga harus bebas dari konflik kepentingan, dilarang emosional, harus selalu obyektif, menunjukkan kompetensi. Singkatnya, dengan istilah paling mudah walau mungkin salah: harus profesional.

Di antara semua itu ada CRU-IBCSD (dimana penulis juga terlibat di dalamnya) yang diprakarsai oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN) untuk mendukung upaya mediasi konflik lahan dan sumber daya alam di Indonesia. Sudah tiga tahun ini CRU-IBCSD mengembangkan diri menuju lembaga independen yang mendukung praktik terbaik mediasi penyelesaian konflik lahan dan sumber daya alam di Indonesia.

Dalam menjalankan misi tersebut, CRU diinkubasi melalui IBCSD (Indonesia Business Council for Sustainable Development), sebuah perkumpulan pelaku usaha anggota KADIN guna mendukung pembangunan berkelanjutan dari berbagai sektor.

Di Jambi, selain menyelesaikan konflik lahan di Desa Muara Kilis; CRU-IBCSD juga membantu penyelesaian konflik lahan di Desa Bungku Kabupaten Batanghari. Kedua mediasi yang diselenggarakan berhasil mencapai kesepakatan penyelesaian sengketa antara pihak-pihak perusahaan dan kelompok masyarakat.

Siapa pun yang terlibat dalam upaya penyelesaian konflik antara SAD atau Petani di Jambi dengan perusahaan pemegang konsesi lahan atau kehutanan, pasti merasakan tantangan berat, yaitu prinsip tetap netral dan imparsial, tetap dingin-profesional, tidak larut-emosional, menyeimbangkan kekuatan, dan mengupayakan kesetaraan.

Sebab, perbedaan itu begitu nyata. Kapasitas finansial, pengaruh politik, pendidikan dan pengetahuan, bahkan bahasa dan logika yang dijumpai diantara perusahaan dan kelompok SAD dan petani itu sungguh dalam.

Sebagai manusia yang memiliki perasaan, tentu saja pada diri mediator yang bertugas muncul keresahan atas ketidakadilan, pertanyaan tentang kejujuran diri, serta kesadaran moral. Bahkan mungkin kemarahan terhadap keadaan, terhadap hukum dan kebijakan, terhadap kapitalisme, perekonomian, paradigma pembangunan.

Warga Suku Anak Dalam mulia budidaya jernang. Dulu, jernang mudah ambil di hutan, kini sudah sulit hingga mereka membudidayakan. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

Mediasi sebagai Kompas Moral

Ada banyak sekali sumber informasi dan panduan tentang prinsip-prinsip dan mekanisme mediasi, kompetensi dan akreditasi mediator. Tahapan-tahapan mediasi tersebut salah satunya dapat merujuk pada Pedoman Perilaku Mediator dari Mahkamah Agung.

Berbagai sumber informasi dan panduan tentang mediasi itu pada umumnya  memiliki kesamaan, misalnya tentang tahapan, seperti Pra Mediasi, yaitu pengajuan permohonan, konfirmasi dan persetujuan proses mediasi, pengkajian, dan penyepakatan tata laksana mediasi; kemudian tahap Mediasi yang meliputi pendefinisian dan pemecahan masalah; dan tahap Paska Mediasi yang meliputi legalisasi atau penguatan kesepakatan, penyusunan rencana pelaksanaan kesepakatan, dan monitoring pelaksanaan kesepakatan.

Dari sisi pegangan moralitas, maka tulisan William Scott Harralson: Morality and Mediation: Can We Reunite the Children, dapat menjadi panduan penting yang sekaligus menjadi inspirasi tulisan ini. Ia memberi interpretasi bagi dunia mediasi dan profesi mediator.  Hal itu seperti mendengar dan memahami, merasakan apa yang dialami pihak lain, rasa hormat kepada perbedaan, memberikan diri seutuhnya dalam cinta menjadi keutamaan yang melampaui prinsip-prinsip mediasi dan standar profesi mediator.

Dalam pandangan Direktur CRU-IBCSD Arief Wicaksono, ia menyebut, “Pada akhirnya yang paling penting dan berguna dari keseluruhan cerita adalah mediasi sebagai kompas moral penyelesaian sengketa.”

Sebagai kompas moral maka pengetahuan dan praktek mediasi diarahkan pada nilai-nilai kemanusiaan. Termasuk yang paling konkret, proses dan hasil mediasi harus memenuhi rasa keadilan baik di pihak-pihak yang bersengketa maupun di diri mediatornya sendiri.

Refleksi Mediasi dalam Konteks Konflik Agraria

Berefleksi pada kasus Desa Muara Kilis, antara warga SAD dengan perusahaan pemegang konsesi kehutanan, tantangan terbesarnya adalah pertanyaan tentang apa signifikansi penyelesaian satu kasus yang relatif kecil dengan skala konflik yang luar biasa besar yang melibatkan puluhan desa dan kelompok warga, yang mana semuanya sebetulnya saling terkait dan mempengaruhi?

Pada kasus satu dusun di Desa Bungku, ganjalannya adalah karena konflik yang secara performa berhasil diselesaikan lewat tercapainya nota kesepakatan. Meski kemudian masih menyisakan pertanyaan tentang harapan paling dasar para pihak yang tetap tak terdamaikan.

Secara kasat mata kesepakatan yang susah payah dicapai itu mungkin pada akhirnya sekedar mempertahankan status quo tumpang tindih kebijakan, penguasaan lahan di lapangan, dan kegetiran relasi antara kelompok masyarakat di satu pihak dengan pemerintah dan perusahaan pemegang konsesi kehutanan di lain pihak.

Tapi barangkali berbagai pihak itu, pemerintah-perusahaan-organisasi masyarakat sipil, masih perlu sedikit lagi untuk berusaha sungguh-sungguh mendengarkan dan memahami, menghormati dan menghargai cara pandang dan cara hidup, kepercayaan dan harapan masyarakat adat atau komunitas lokal atas tanah dan sumber-sumber penghidupan.

Apabila bisa demikian, mungkin bekal berupa rasa keadilan, keprihatinan atas penderitaan SAD dan Petani Jambi, dan cinta terhadap kemanusiaan bisa mewujudkan perubahan kebijakan dan pengakuan atas hak asasi, reforma agraria sejati, dan penyelesaian tuntas dan permanen atas konflik lahan dan sumber daya alam.

* A. Driyarta, penulis adalah aktivis sosial, investigator dan mediator. Saat ini, aktif menjalankan perannya sebagai periset dan pendokumentasi dan Mediator Senior Conflict Resolution Unit – Indonesia Business Council for Sustainable Development (CRU-IBCSD).

Foto utama: Aksi warga SDA113 jalan kaki ke Jakarta, untuk menuntut penyelesaian konflik lahan. Foto: dokumen aksi.

Sumber: Mangobay.co.id