Perspektif Gender dalam Penyelesaian Konflik Lahan dan SDA

18 Maret 2017

Penanganan konflik lahan dan sumber daya alam yang terjadi di Indonesia akan lebih berhasil dan tuntas jika melibatkan perspektif gender, demikian rangkuman hasil diskusi yang diselenggarakan oleh Conflict Resolution Unit – Indonesia Business Council for Sustainable Development (CRU – IBCSD) di Aston Suites Kuningan, Selasa (17-3-2017).

“Persoalan perspektif gender bukan sesuatu yang teoritis. Ini adalah sebuah tuntutan dari realitas jika ingin bekerja secara nyata,” papar Kamala Chandrakirana, pendiri Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan anggota Kelompok Kerja Diskriminasi Terhadap Perempuan yang dibentuk Dewan HAM PBB di Jenewa.

Sejauh ini, dipandang perlu memasukkan perspektif gender dalam upaya penanganan konflik sehingga seluruh upaya terkait penelitian, mediasi dan penyelesaian konflik lebih menyeluruh dan berkelanjutan.

Menjadi catatan penting, bahwa diskusi ini merupakan sebuah kegiatan awal yang meletakkan landasan bagi rangkaian kegiatan selanjutnya. Untuk itu, di akhir diskusi dihasilkan identifikasi kebutuhan dan langkah-langkah tindak lanjut yang akan dilakukan ke depan. Diharapkan dari rangkaian kegiatan ini ditemukan proses pembelajaran bersama tentang praktik terbaik mediasi konflik lahan dan sumber daya alam yang tanggap gender di Republik Indonesia.

Penyiapan kapasitas untuk mediasi untuk penyelesaian konflik lahan dan sumber daya alam Indonesia memang telah diinisiasi, contohnya melalui penerbitan PerDirJen P4/2016 Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) tentang pedoman mediasi penanganan konflik tenurial di kawasan hutan. Dalam diskusi terungkap bahwa selain terdampak konflik, perempuan juga menjadi faktor yang dapat memastikan penyelesaian konflik bisa tercapai dan berlangsung secara berkelanjutan.

Diskusi yang difasilitasi oleh Paramita Iswari (Wakil Ketua Dewan Kehutanan Nasional, Ketua Perhimpunan KARSA dan Yayasan Inovasi serta mengajar Gender dan Politik di FISIPOL UGM) dihadiri juga beberapa aktivis perspektif gender termasuk Siti Nurlaily Djenaan (Suara Parangpuan, Sulawesi Utara), Hetty Nurhayati (mediator konflik lahan), Yulita (fasilitator dan mediator konflik lahan di Kalimantan Timur), Nani Nuraeni (perempuan mediator Madyasta Dispute Resolution), Ruby Kholifah (perempuan pegiat perdamaian lintas agama, lintas etnis dalam resolusi konflik), Lian Gogali (negosiator resolusi konflik dari Tentena,Poso, Sulawesi Tengah), Siti Megadianty Adam (fasilitator dan mediator pada Indonesian Institute for Conflict Transformation) serta Hilda Rolobessy (negosiator dan mediator konflik, Joint Committee Baku Bae Maluku, staf Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM Nahdatul Ulama di Ambon).

Beberapa pakar dan praktisi dalam mediasi konflik sumber daya alam dan lahan seperti Fahmi Shahab (Pusat Mediasi Nasional), Mangara Silalahi (Yayasan Harmoni dan Impartial Mediator Network), Raymond Lee (Pusat Mediasi Nasional) juga turut hadir dalam diskusi ini.