Mengkaji pembelajaran dari praktik mediasi konflik sumber daya alam terbaik di Indonesia dan negara lain

19 September 2017

Mediasi merupakan proses yang kompleks dan berlapis. Namun seperti sebuah proses penyelesaian masalah, proses mediasi dapat disederhanakan melalui identifikasi proses termasuk didalamnya pemilahan aktor yang terlibat.

Kajian kritis akan praktek mediasi yang pernah dilakukan sedang diinisiasi oleh Conflict Resolution Unit (CRU), unit penyelesaian sengketa dibawah Perkumpulan Dewan Bisnis Indonesia untuk Pembangunan Berkelanjutan (IBCSD. Tujuannya untuk mengumpulkan pembelajaran-pembelajaran terbaik dari proses mediasi konflik sumber daya alam sehingga dapat memberikan pemahaman yang lebih baik akan proses mediasi. Harapannya adalah kumpulan rekomendasi yang dapat digunakan untuk merumuskan pengembangan proses mediasi konflik sumber daya alam yang lebih efektif dan bersifat inklusif.

Atas dasar tersebut, Mia Siscawati, Ph.D memulai penelusuran tentang perkembangan mediasi konflik sumber daya alam di Indonesia. Penelusuran tersebut dilakukan melalui studi literatur dengan metode analisis komparatif tentang mediasi konflik sumber daya alam di beberapa tempat baik di Indonesia maupun di luar Indonesia.

Temuan awal dari penelitian ini dipresentasikan dalam lokakarya pembahasan temuan awal studi tentang Praktik Terbaik Mediasi Konflik Sumber Daya Alam di Indonesia dan Negara Lain pada Senin, 18 September 2017 di Jakarta.

Dalam perjalanannya proses mediasi tidak hanya menghilangkan sengketa dan menghasilkan kesepakatan, namun berpeluang mentransformasikan hubungan para pihak menjadi hubungan yang saling menguntungkan. Namun untuk mencapai hal itu seorang mediator atau pun tim mediator harus berperan ganda yaitu sebagai fasilitator, penasehat dan pengembang kapasitas komunitas.

Peran ganda mediator memberikan ruang lebih luas bagi untuk memahami para pihak dan mengenali kepentingan masing-masing sehingga mampu merumuskan rekomendasi yang dapat membantu untuk menyelesaikan masalah mereka. Salah satu studi kasus yang dipelajari yaitu perjalanan masyarakat kasepuhan Banten Karang dalam upaya mengesahkan tanah Wewengkon sebagai bagian dari tanah adat.

“Setiap proses penyelesaian konflik cukup rumit dan terbagi dalam bagian-bagian penting yang unik. Dalam kasus masyarakat kasepuhan Banten Kidul, pemetaan partisipatif menjadi salah satu bagian yang penting,” terang Mia.

Seorang penanggap dalam diskusi tersebut, Nia Rahmadianty dari RMI menambahkan, pemetaan partisipatif menjadi alat strategis dalam upaya pengesahan tanah adat masyakarat Kasepuhan Banten Kidul. “Tidak hanya menghasilkan peta, namun membuka ruang bagi anggota kasepuhan untuk memikirkan ruang hidupnya dalam wilayah tersebut”. Ujarnya.

Hal ini berkaca dari pengalaman Nia yang bersama dengan organisasi RMI berkesempatan mendampingi masyarakat Kasepuhan Banten Kidul.

Sementara itu Wahyu Ergiman dari Elsam, menambahkan peran mediator yang selama ini kurang diperhatikan adalah ketika pra-mediator. “Banyak anggota masyarakat yang belum siap untuk melakukan proses mediasi. (Sebaiknya) mediator juga memperhatikan persiapan masyarakat sebelum proses mediasi berlangsung”, terangnya.

Navitri Putri Guillaume, Direktur Eksekutif Program CRU mengatakan bahwa penelitian ini merupakan bagian dari upaya CRU dalam mendokumentasikan praktik-praktik terbaik mediasi konflik terkait lahan dan sumber daya alam khususnya yang terjadi di Indonesia. Adapun studi tentang mediasi konflik terkait lahan dan sumber daya alam di luar Indonesia, menjadi cermin dan sumber pembelajaran untuk mendukung praktik terbaik mediasi konflik sumber daya alam di Indonesia.


Keterangan foto: Mia Siscawati mempresentasikan temuan awal dari penelitian tentang Praktik Terbaik Mediasi Konflik Sumber Daya Alam di Indonesia dan Negara Lain pada Senin, tanggal 18 September 2017 di Jakarta.