Penguasaan konteks SDA dalam penyelesaian konflik Urut Sewu

21 Agustus 2018

Praktik cerdas mediasi sumber daya alam bermakna win-win solution atau dengan kata lain memuaskan para pihak. Kesepakatan yang memuaskan ini memenuhi kepentingan para pihak dan memberikan harapan akan penyelesaian konflik yang tuntas.

Namun bagaimana meraih semua itu? Bukan hal yang mudah tapi tidak ada yang tidak mungkin selama ada kemauan untuk menyelesaikan konflik.  Demikian optimisme yang disebarkan oleh Prof. Indra Bastian, Ketua Pusat Mediasi Indonesia Universitas Gadjah Mada pada sesi paparan I dalam acara Diskusi Mediator yang diadakan pada Senin, 25 Juni 2018.

“Kita perlu untuk menjalankan prinsip yang benar dalam melakukan mediasi dan negosiasi sebagai cara cerdas dalam penyelesaian konflik”, ujar Prof. Indra dalam pembukaannya kepada para peserta diskusi. Prinsip yang benar ini dirangkum dalam paparannya yang berjudul Praktik Cerdas Mediasi Konflik SDA dengan studi kasus konflik Urut Sewu Kebumen.

Pada sesi ini Prof. Indra menjelaskan bagaimana prinsip mediasi diterapkan dalam penyelesaian kasus Urut Sewu, Kebumen. Konflik tanah yang diperkirakan mulai bergulir sejak tahun 2011. Prof Indra merupakan bagian dari tim independen dari Universitas Gadjah Mada yang turut serta dalam proses mediasi kasus Urut Sewu, Kebumen, Jawa Tengah.

Studi kasus Urut Sewu

“Konflik Urut Sewu merupakan konflik antara petani dan TNI AD, namun ada juga pemegang kepentingan lain seperti LSM, pemerintah hingga perusahaan pemilik modal”, jelas Prof. Indra dalam menceritakan latar belakang konflik Urut Sewu.

Dalam penyelesaian kasus agraria maupun sumber daya alam, kerap ditemui kasus yang selalu berulang. Demikian juga terjadi di konflik Urut Sewu. Konflik mulai bergulir sejak tahun 2007 dan berkembang hingga tahun 2011, lalu muncul kembali pada tahun 2013.

Dalam upaya untuk menjalankan proses mediasi yang benar sehingga bisa dicapai kesepakatan yang diterima oleh semua pihak, tim mediator memulai dengan tahapan pra mediasi yang terdiri dari tahapan analisis konflik SDA, merancang negosiasi, kaukus di awal dan legitimasi.

Disampaikan oleh Prof. Indra, dalam analisis konflik SDA, mediator diharapkan dapat melakukan pemetaan aktor dari para pihak yang terlibat, menyusun sejarah konflik, memetakan kepentingan dan motivasi para pihak serta melihat sikap, perilaku dan konteks yang digunakan oleh para pihak dalam melihat konflik.

“Sengketa SDA tidak pernah selesai karena pihak yang berkompeten tidak bisa memediasi dan bernegosiasi secara transparan, selalu ada kepentingan lain di belakangnya. Oleh karena itu perlu dipelajari kepentingan, perilaku hingga motif dari pihak-pihak yang berkepentingan”, ujarnya.

Baru setelah dilakukan analisis maka disusunlah rancangan negosiasi. Rancangan tersebut dibuat dengan mempertimbangkan aktor dan kepentingannya, pilihan-pilihan kesepakatan, BATNA, hubungan emosi hingga komitmen untuk implementasi. Rancangan ini selanjutnya dibawa ke tahap kaukus di awal.

 Kaukus di Awal yang Mengungkap Fakta Baru

Dalam penelitian PMI, dengan topik mediasi sebagai teknologi penyelesaian sengketa bisnis dan pertanahan (2014), sengketa dan konflik pertanahan memiliki karakteristik para pihak susah untuk dipertemukan dan memiliki tingkat emosional yang tinggi. Oleh karenanya mediator harus melakukan pertemuan terpisah (kauskus) di awal. Dalam kasus Urut Sewu, kaukus di awal ini berhasil menemukan fakta baru.

Prof. Indra Bastian dari Pusat Mediasi Indonesia Universitas Gadjah Mada berbagi pengalaman tentang praktik cerdas mediasi SDA dalam penyelesaian kasus Urut Sewu, Kebumen dalam acara Diskusi Mediator pada tanggal 25 Juni 2018 di Jakarta.

“Kaukus di awal ini berguna untuk menyelami inti permasalahan”, jelas Prof. Indra.

“Pengungkapan fakta ini membuka harapan baru bagi penyelesaian konflik Urut Sewu yang sudah bertahun-tahun ini”, ungkap prof. Indra. Kompilasi pilihan-pilihan ini dirangkum dalam tabel berikut:

“Dalam menyusun pilihan kesepakatan inilah, penguasaan konteks tentang SDA memainkan perannya. Mediator untuk sektor SDA harus bisa menghitung keuntungan maupun kerugian SDA, mediator pun paham masalah tanah, status tanah, sejarah pemilik hingga bisa memahami dasar kepemilikan tanah”, jelas Prof. Indra.

Mediasi adalah tentang kesepakatan para pihak. Setiap hal dan langkah yang diambil harus mendapatkan kesepakatan para pihak. Untuk itu sebelum masuk ke proses mediasi, tim harus mendapatkan legitimasi berupa mandat dari para pihak untuk melakukan mediasi.

Legitimasi dari para pihak ini akan mendorong disepakatinya penyelesaian konflik yang menyeluruh dan berkelanjutan. Jika telah disepakati maka kesepakatan perdamaian dapat diajukan menjadi akta perdamaian yang memiliki kekuatan hukum tetap dan kekuatan eksekutorial.

Namun bagaimana jika dalam proses mediasi tidak dicapai kesepakatan. “Jika terjadi, maka dokumen-dokumen yang ada dimusnahkan dan tidak boleh menjadi alat bukti serta mediator yang terlibat tidak dapat menjadi saksi”, lanjutnya.

Dari penyelesaian kasus Urut Sewu ini, dapat dicatat beberapa pembelajaran salah satunya adalah perlunya unsur-unsur dari mediasi bisnis, mediasi pertanahan dan administrasi publik. “Pada kasus ini, penerapan politik ekonomi menjadi solusi akar permasalahan dan yang terpenting adalah praktik cerdas yang melibatkan pihak yang berkepentingan”, kata Prof Indra menutup paparannya.

Sesi paparan ini merupakan bagian dari kegiatan Diskusi Mediator yang merupakan inisiatif CRU-IBCSD untuk mempertemukan para mediator sumber daya alam dari seluruh Indonesia untuk mengungkap tantangan dan praktik cerdas bermediasi dalam upaya penyelesaian konflik SDA di Indonesia.