Konflik Lahan Tak Cuma Soal Sengketa

29 Mei 2019

Sepanjang tahun 2017 lalu, terjadi 659 kasus konflik agraria di Indonesia dengan luas lahan berkonflik mencapai 520.491,87 ha (Kompas.com – 27/12/2017). Kuantitas jumlah konflik tersebut menurut catatan organisasi non pemerintah, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), meningkat 50% dibanding tahun sebelumnya. Bila dirata-ratakan terjadi 2 konflik lahan per harinya. Perkebunan masih menempati peringkat tertinggi dalam konflik lahan di tahun 2017 dengan catatan 208 konflik (32%), di bawahnya berturut-turut properti yang mencapai 199 konflik (30%), infrastruktur 94 konflik (14%), pertanian 78 konflik (12%), kehutanan 30 konflik (5%), pesisir/kelautan 28 konflik (4%), serta pertambangan 22 konflik (3%).

Angka-angka yang mengkhawatirkan tersebut memunculkan pertanyaan seberapa sulit konflik lahan ini bisa tersolusikan. Menyelesaikan konflik memang tidak mudah. Apalagi bila melibatkan lebih dari dua pihak yang berkepentingan. Konflik jauh lebih pelik dan lebih luas pengertiannya dari sengketa karena mencakup perselisihan yang bersifat laten (tersembunyi) dan manifes (terbuka). Konflik juga melibatkan pihak yang sudah teridentifikasi dengan jelas dan yang belum teridentifikasi, sementara sengketahanya mencakup pihak yang sudah terindentikasi dengan jelas. Memahami kondisi ini, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) meluncurkan buku yang berjudul “Panduan Praktis Penanganan Konflik Berbasis Lahan”.

Penggunaan konflik akan lebih sering ditemui dalam buku ini dibanding sengketa, karena pengusaha lebih sering juga menghadapi konflik laten yang belum jelas melibatkan pihak mana saja dan menggunakan jalur forum non judisial. Buku setebal 93 halaman di luar jilid dan kata sambutan ini, secara praktis mengungkap konflik lahan dari mulai pengertiannya secara definitif, sampai bentuk penyelesaian dari konflik itu sendiri.

KADIN sebagai lembaga yang berkepentingan dalam penyelesaian masalah konflik, kian menyadari arti pentingnya penanganan konflik secara holistik. Lembaga yang dipimpin oleh Rosan P. Roeslani ini membentuk badan khusus Lembaga Mediasi Bisnis (LEMBIS) yang berperan untuk membantu para anggota KADIN manakala berhadapan dengan konflik, terutama konflik yang berkaitan dengan penyelesaian melalui mediasi (hal. 5).

Gaya berkonflik pihak yang terlibat pun dapat dikategorikan menjadi lima jenis, yaitu: 1. Menghindar (Avoiding), 2. Mengakomodasi (Accommodating), 3. Berkompromi (Compromising), 4. Bersaing (Competing), dan 5. Bekerjasama (Collaborating) (hal. 13). Selain gaya berkonflik, dibahas pula tentang perspektif konflik mulai dari pandangan pengusaha, masyarakat sipil, dan pemerintah dengan bahasa ringan yang mudah dipahami.

Masukan dari pengusaha terkait perspektif konflik secara lugas turut dipaparkan. Menariknya, disampaikan pula faktor-faktor yang dapat membantu peyelesaian konflik disertai ide-ide solutif agar konflik tidak terus terjadi (hal. 18 – 20). Pemerintah dalam hal ini sudah menerbitkan beberapa peraturan terkait dengan konflik dan sengketa. Peraturan ini diantaranya: Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, serta Peraturan Makamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Untuk setingkat kementerian, beberapa peraturan yang lebih teknis sudah dirilis, mulai dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Negara, Kementerian Pertanian, sampai Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral. Penyelesaian konflik dapat dipilih atas 3 upaya, yaitu: jalur pengadilan, alternatif penyelesaian sengketa (APS), hingga penyelesaian secara administrasi dimana pihak yang bersengkata dapat mengadukan konfliknya ke beberapa kementerian (KLHK, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Negara, Kementerian ESDM, sampai pada Kementerian ESDM).

Buku “Panduan Praktis Penanganan Konflik Berbasis Lahan” secara resmi diluncurkan pada Kamis (29/11), bertempat di Ballroom A, Grand Hyatt, Jakarta. Acara dihadiri oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang, Sofyan Djalil. Selain itu tampak pula Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Moazzam Malik dan Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Hubungan Internasional, Shinta W. Kamdani. Acara ini merupakan kerjasama KADIN bersama dengan UKAid, IBCSD, dan Conflict Resolution Unit.

Puluhan Juta Sertifikat Tanah

Dalam sambutannya, Menteri Agraria dan Tata Ruang RI, Sofyan Djalil menyatakan, hingga akhir tahun 2018 ini Badan Pertanahan Negara sudah mengeluarkan sekitar 58 juta persil sertifikat.

“Pemerintah kini tak cuma menyelesaikan soal konflik tanah yang terkait BPN (Badan Pertanahan Negara), namun juga yang di luar itu. Seperti konflik masyarakat dengan kawasan hutan,”ungkap Sofyan. Untuk kali pertama pemerintah megeluarkan guidance masalah tersebut melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.

“Pemerintah pun kini sangat serius menetapkan aturan one man policy,”cetus Sofyan. Dengan ini diharapkan tidak ada lagi tumpang tindih soal bukti kepemilikan tanah, karena semua aturan dari mulai pusat dan daerah sudah disinkronkan dan hanya melahirkan satu bukti kepemilikan. Terobosan lain yang dilakukan pemerintah adalah meluncurkan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Pemerintah akan mendaftarkan persil-persil di tiap desa kabupaten, dan lainnya sehingga tak ada lagi istilah tanah tak bersertifikat. Tentunya dengan syarat tanah yang tak berkonflik.

Jumlah tanah persil resmi milik masyarakat, lanjut Sofyan, di luar kawasan hutan yang sudah terdaftar sebanyak 46 juta. Dulu sertifikat yang diterbitkan masih ada kelemahan, dimana belum dicantumkan koordinat tanah secara pasti. Batas tanah hanya disebutkan secara fisik, misalnya tanah si A dibatasi oleh saluran irigasi atau pohon milik si anu. Jadi dari 46 juta tersebut, masih ada beberapa juta yang posisi tanahnya belum “duduk” (baca: ajeg) karena belum ada pencatuman batas koordinat. Tak jelasnya batas tanah inilah yang menurut Sofyan bisa memicu konflik. Dari kondisi inilah program PTSL diluncurkan.

Pada tahun lalu, daridata BPN sebanyak 5 juta tanah telah terdaftar secara resmi, dan target tahun 2019, bakal ada 9 juta tanah yang kepemilikannya terverifikasi dan tersertifikasi. Bahkan tahun depan, Sofyan berani menjanjikan, seluruh tanah di Jakarta sudah terdaftar. Pemerintah punya target ambisius di mana pada tahun 2025, seluruh tanah di Indonesia sudah terdaftar, bersertifikat secara benar dan resmi. Pada akhirnya potensi konflik lahan yang muncul akan semakin kecil.

Pemerintah, kata Sofyan, sangat mendukung adanya penyelesaian konflik lahan melalui jalur mediasi atau arbitrase. Karena itu, upaya KADIN menginisiasi solusi konflik lewat jalur mediasi, sangat diapreasiasi pemerintah. Pemerintah berupaya menjadi mediator untuk menyelesaikan persoalan konflik lahan sehingga penyelesaiannya bisa lebih tuntas dibanding melalui jalur hukum yang hanya memunculkan masalah lain. Sofyan menegaskan, konflik lahan bisa selesai selama tidak dijadikan barang komoditi (politik) oleh pihak tertentu.

Di pihak lain, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Hubungan Internasional, Shinta W. Kamdani, menjelaskan, buku yang diluncurkan ini merupakan (upaya) mapping terhadap konflik yang selama ini terjadi di lapangan. Apa konflik itu dan bagaimana prosesnya dan kenapa (itu terjadi).

“Dampak dari konflik lahan ini sangat signifikan baik langsung atau tidak langsung bagi pelaku usaha. Nilainya bisa USD 70 ribu hingga USD 2,5 juta. Diharapkan dengan buku panduan ini mekanisme penyelesaian melalui jalur mediasi bisa lebih tertata (tahapannya),” papar Shinta. Yang tak kalah penting, lanjut Shinta, pihak-pihak yang berkepentingan, mau menyelesaikan konfliknya lewat jalur mediasi. Buku panduan ini merupakan proses awal dari upaya KADIN dalam menginformasikan penanganan konflik lahan melalui mediasi yang sifatnya lebih kepada win-win solution, sehingga masalah sosial yang muncul pun bisa teratasi.

Langkah selanjutnya, Shinta mengungkapkan, pihaknya akan bekerjasama dengan pemerintah dalam upaya sosialiasi penyelesaian konflik lahan lewat mediasi dan musyawarah. Namun yang perlu diingat juga, perlu dipersiapkan para mediator yang memang ahli di bidangnya. Karena itu perlu juga dipikirkan pelatihan-pelatihan bagi para mediator sehingga memiliki kredidibilitas dan kapabilitas yang siap menyelesaikan konflik yang terjadi.

Sumber: Majalah CSR