Resolusi Konflik dan Perubahan Iklim

23 November 2021

Bulan November 2021 dibuka dengan hal penting bagi upaya kolektif global pengendalian perubahan iklim yaitu penyelenggaraan konferensi para pihak ke 26 (COP 26). Konferensi ini ditutup dengan disetujuinya the Glasgow Climate Pact, atau Pakta Iklim Glasgow tentang bagaimana negara-negara dapat mencapai pembatasan penambahan maksimal suhu 1,5 o C lebih tinggi dari masa pra-industri.

Pro dan kontra menyambut pakta baru ini. Kelompok pendukung mengatakan bahwa pakta baru ini mengembalikan urgensi penerapan Perjanjian Paris, sementara mereka yang menentang memandang bahwa pakta baru ini tidak cukup ambisius untuk memastikan bahwa kita dapat mencapai batas maksimum kenaikan suhu 1,5 o C seperti yang diamanatkan dalam Perjanjian Paris. Namun demikian, kiranya perlu diterima bahwa Pakta Glasgow ini adalah sebuah perjanjian yang disepakati bersama.

Menilik ke belakang, Conflict Resolution Unit (CRU) dilahirkan sebagai inisiatif sektor swasta untuk berkontribusi pada upaya pengendalian perubahan iklim melalui pengurangan kejadian konflik di sektor usaha berbasis lahan. Ini adalah mandat yang sangat besar. Pertanyaan yang sering menyeruak adalah, bagaimana suatu upaya penyelesaian konflik dapat berkontribusi pada upaya pengendalian perubahan iklim baik melalui upaya mitigasi dan adaptasi? Bagaimana resolusi konflik dan pendekatan peka konflik dapat membantu dunia untuk membatasi kenaikan suhu global tidak melebihi 1,5 o C. Dan terakhir, ketika kontribusi tersebut dihitung dengan jumlah pengurangan emisi karbon, apakah perhitungan seperti itu bisa dilakukan?

Pertama-tama, mari kita lihat, di tingkat tapak. Pada satu sisi terdapat konflik yang berkontribusi terhadap emisi CO2, misalnya konflik lahan dan hutan yang terkait dengan deforestasi, degradasi hutan ataupun kebakaran hutan. Di sisi lain, ada juga konflik yang justru disebabkan perubahan iklim, misalnya konflik karena meningkatnya kompetisi atas sumber daya alam. Disinilah, inisiatif resolusi konflik berkontribusi pada upaya penanganan konflik-konflik tersebut.

Sementara di tingkat global, dampak perubahan iklim semakin memburuk karena berbagai konflik kepentingan antar negara terkait iklim yang tidak terselesaikan. Mulai dari perdebatan nomenklatur, persoalan ketimpangan antara negara maju dan berkembang dalam hal keadilan iklim, hingga masalah prioritas upaya adaptasi dan mitigasi. Di sini, penyelenggaraan COP menjadi ajang resolusi konflik melalui negosiasi multi-lateral untuk mengatasi perbedaan menuju kesepakatan bersama. Pakta Glasgow yang dihasilkan diharapkan menjadi kesepakatan yang menyelesaikan perdebatan-perdebatan tersebut.

Di sisi lain, perlu kita akui, bahwa upaya-upaya mencegah dan mengurangi dampak perubahan iklim pun rentan akan konflik. Terutama ketika proses sosialisasi untuk menumbuhkan kesadaran dan kepedulian (awareness and concern) tentang urgensi pengendalian perubahan iklim tidak dilakukan dengan memadai.

Kontroversi tentang perubahan iklim terus ada dan itu tidak menghentikan dampak yang kita hadapi. Tanpa upaya serius untuk menangani pertentangan tersebut, niat baik untuk upaya pengendalian perubahan iklim bisa terhambat.

Dengan semua kompleksitas dan urgensi yang ada, lalu bagaimana pengendalian perubahan iklim bisa berjalan optimal? Bagaimana mengubah kontroversi dan perdebatan-perdebatan yang ada menjadi katalisator untuk perubahan yang konstruktif bagi upaya kolektif penanganan masalah perubahan iklim?

Yang pertama bisa kita lakukan adalah memindahkan energi perdebatan menjadi energi kerjasama untuk kepentingan yang sama, yaitu menjaga kenaikan suhu global tidak melebihi 1,5oC di atas suhu global pra-industri. Upaya resolusi konflik merupakan salah satu jalan untuk mewujudkan kerjasama yang akan menguatkan ikatan sosial yang dapat meningkatkan kemampuan adaptasi perubahan iklim.

Dilihat dari metodologi penghitungan emisi yang ada, upaya resolusi konflik sulit untuk dikuantifikasi dalam konteks kegiatan mitigasi tapi berpotensi untuk dielaborasi pada prakarsa adaptasi perubahan iklim melalui pendekatan peka konflik pada perencanaan berbagai upaya pembangunan.

Namun demikian, secara teoritik dan intuitif, kita merasa bahwa dengan adanya upaya resolusi konflik di tingkat tapak, maka tata kelola lahan dan hutan menjadi lebih baik dan berkontribusi terhadap upaya pengurangan emisi dari sektor lahan. Dan hal ini merupakan ranah kegiatan mitigasi perubahan iklim. Di sini, kita bisa melihat, kerja resolusi konflik di tingkat tapak bersama dengan berbagai faktor lainnya (confounding factors) berkontribusi secara tidak langsung dengan upaya pengendalian perubahan iklim.

Kedua, upaya resolusi konflik memang dapat berkontribusi, tetapi yang lebih penting adalah mencegah terjadinya konflik dan untuk itu kita perlu mengadopsi pendekatan peka konflik dalam perencanaan agenda pengendalian perubahan iklim. Jika selama ini, resolusi konflik dilakukan secara reaktif selayaknya pemadam kebakaran yang datang saat api sudah berkobar, maka kini upaya pencegahan konflik perlu masuk ke dalam perencanaan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Asumsi yang perlu kita sepakati, kenyataan bahwa tidak ada intervensi ataupun kebijakan yang netral dan tidak berdampak negatif terkait perubahan iklim. Sehingga pendekatan peka konflik dapat menjadi bagian kunci dari katup pengaman (safeguards) dari agenda pengendalian perubahan iklim.

Dua hal ini merupakan sumbangan gagasan yang dapat diberikan metodologi resolusi konflik dan pendekatan peka konflik pada upaya pengendalian perubahan iklim. Hal itu tentu saja membutuhkan komitmen yang diikuti kerja keras. Pun ketika kedua gagasan itu sudah dilakukan, tidak serta merta perjuangan untuk perubahan iklim menjadi mudah. Namun yang pasti, kedua gagasan layak dicoba untuk menjadi bagian upaya panjang pengendalian perubahan iklim.

Photo by Dikaseva on Unsplash