Bagaimana Kesepakatan Damai Dapat Dilaksanakan dan Bertahan?

25 Januari 2022

Jika kita tanyakan kepada kepada para mediator apa ukuran keberhasilan mediasi atau perundingan? Salah satu jawaban yang umum diberikan adalah dicapainya kesepakatan damai, dan mungkin kesepakatan bekerjasama.  Jawaban itu tentu tidak salah.  Namun CRU menemukan bahwa, setelah melalui proses mediasi dan para pihak mencapai kesepakatan damai dan (mungkin) kesepakatan kerjasama, kemudian para pihak kembali kembali ke kehidupan masing-masing dengan rasa lega, tetapi tidak terjadi perubahan apa pun sesuai kesepakatan.

Kesepakatan yang telah ditandatangani oleh para pihak itu, bisa jadi tidak dilaksanakan atau ada juga kesepakatan mulai dijalankan, tetapi kemudian muncul masalah baru. Ada juga, kesepakatan yang telah dicapai, digugat oleh salah satu pihak. Akhirnya konflik berlanjut, dan dokumen kesepakatan hanya menjadi dokumen sejarah yang berdebu dalam arsip. Mengapa hal itu bisa terjadi?

Ada beberapa kemungkinan mengapa hal tersebut terjadi. Diantaranya,  kesepakatan para pihak tidak realistis. Oleh karena kuatnya desakan dari para pihak atau semangat berlebih untuk segera menghentikan konflik, para pihak mengajukan butir-butir kesepakatan yang  pelaksanaannya di luar kemampuan mereka. Hal ini bisa terjadi karena para pihak baik tidak mempunyai sumber daya yang memadai. Atau sering juga terjadi, hal disepakati berada di luar kewenangannya sebagai perwakilan pihak. Misalnya, salah satu pihak menjanjikan melepas hak pengelolaan suatu lahan, namun ternyata pihak tersebut hanya berwenang terkait akses pemanfaatan bukan kepemilikan lahan.

Kemungkinan lain adalah jika ada salah satu pihak atau pemangku kepentingan lain yang tidak ikut serta dalam proses mediasi dan merasa terabaikan. Selain dua hal tadi, bisa juga kesepakatan yang telah dicapai, menjadi tidak relevan dan tidak bisa untuk dilaksanakan karena dinamika kebijakan, regulasi atau pun politik.

Lalu bagaimana kemungkinan-kemungkinan ini dapat diantisipasi dalam proses mediasi dan perumusan kesepakatan? Hal ini membawa kita kepada beberapa hal dasar tentang mediasi, diantaranya:

  • Identifikasi dengan cermat semua pemangku kepentingan dan kepentingannya. Bukan hanya pihak yang terlibat konflik secara langsung, tetapi juga pihak lain yang berkepentingan pada pokok konflik, tidak hanya pada tuntutan awal yang diungkapkan, tetapi juga mempertimbangkan kepentingan yang absah di balik tuntutan
  • Tuntutan yang diajukan hendaknya cukup realistis untuk dapat dipenuhi pihak lainnya. Tuntutan tersebut akan menjadi pertimbangan dalam perumusan kesepakatan yang dapat mengintegrasikan secara optimal kepentingan para pihak atau common ground. Inilah yang menjadi landasan untuk mencapai win-win solution.
  • Rencana pelaksanaan kesepakatan yang realistis, nyata dan terjadwal dengan baik. Perlu disadari bahwa kesepakatan barulah setengah dari perjalanan, dan konflik sejatinya baru selesai setelah kesepakatan tersebut Untuk itu perlu dikembangkan rencana kerja menjelaskan jenis kegiatan, pelaksana dan waktu yang disepakati bersama. Termasuk dalam rencana kerja ini analisa risiko dan antisipasi kemungkinan perubahan dalam konteks kebijakan dan regulasi.
  • Pengembangan informasi dasar yang memadai untuk perundingan dan perumusan kesepakatan. Para pihak dan mediator perlu memahami dengan baik apa yang menjadi pokok konflik, faktor-faktor penyebab dan pemicu konflik, para pemangku kepentingan dan kepentingannya serta apa saja alternatif solusi yang dapat dipertimbangkan. Karenanya, diperlukan informasi dasar yang dibangun melalui rangkaian kajian sebelum dan selama proses pengelolaan konflik.
  • Rencana pemantauan yang melibatkan para pihak dan pihak yang berwenang. Untuk memastikan dipenuhinya kesepakatan, maka pelaksanaan kesepakatan harus dapat dipantau bersama. Pemantauan bersama ini juga merupakan ajang untuk saling menagih-janji dan mengingatkan akan kesepakatan yang telah tercapai, sertamembangun kerjasama dalam penyelesaian masalah bersama.
  • Mediator yang berorientasi jangka-panjang, mampu meredam emosi berlebihan dan mengajak para pihak untuk mempertimbangkan kepentingan jangka-panjang mereka. Sering kali dalam proses perundingan, para pihak terbawa emosi dan ingin segera mencapai kata sepakat. Hal ini kerap membawa para pihak untuk memberikan kesepakatan yang tidak optimal, misal tidak berorientasi jangka panjang. Di sini, penting bagi mediator untuk berperan sebagai pemandu yang dapat mengelola proses mediasi secara baik dan bijak.

Singkatnya, agar suatu perjanjian atau kesepakatan benar-benar dapat menyelesaikan konflik, maka kesepakatan itu harus antisipatif, berwawasan jangka-panjang serta realistis. Beberapa butir catatan di atas mungkin bisa menjadi petunjuk untuk mengarahkan kita ke sana. Tapi, bagaimana hal ini  dilakukan tentu menjadi tantangan kita bersama.

Foto oleh Dorothea OLDANI di Unsplash