Peka Konflik dalam Agenda G20

10 Maret 2022

Tahun 2022, diawali dengan kabar tentang terpilihnya Indonesia sebagai pemangku presidensi G20. Hal ini sangat bermakna karena G20 merupakan forum multilateral 19 negara utama dan Uni Eropa (EU) yang merepresentasikan lebih dari 60% populasi bumi, 75% perdagangan global dan 98% PDB dunia. Di bawah tema besar “Recover Together, Recover Stronger” agenda G20 dalam masa kepresidenan Indonesia terfokus pada tiga prioritas, yakni: (1) tatanan kesehatan global, (2) transisi kepada energi-ienergi terbarukan, dan (3) transformasi digital dalam perekonomian.

Yang menjadi perhatian tulisan ini adalah prioritas kedua, yakni upaya transisi dari sumber-sumber energi konvensional – terutama bahan bakar fosil, termasuk minyak bumi, gas dan batubara – ke sumber energi terbarukan, seperti energi surya, energi air, energi angin, energi panas bumi, bahkan energi gelombang laut. Juga energi dari sumber-sumber nabati (biofuel) menjadi pilihan dalam bauran itu.

Walaupun kita tentu perlu mendukung upaya tersebut, salah satu persoalan yang perlu menjadi perhatian terutama terkait fakta bahwa prakarsa pengembangan energi terbarukan itu membutuhkan lahan untuk pembangunan infrastrukturnya. Seringkali pilihan lokasi ditentukan oleh potensi kekayaan alam yang terberi; pembangkit listrik geotermal, misalnya, membutuhkan pengeboran di lokasi dimana sumber panas bumi itu berada walaupun lokasi tersebut mungkin saat ini menjadi ruang hidup dan sumber penghidupan masyarakat. Juga, pengoperasian pembangkit listrik geotermal membutuhkan pasokan air yang sangat banyak sebagai pendingin turbin yang berpotensi menguras sumber-sumber air yang juga dibutuhkan masyarakat.

Bahkan, pembangkit listrik tenaga air (PLTA) bukan saja memerlukan lahan untuk penempatan infrasrukturnya tetapi juga akan menggenangi wilayah yang luas, yang boleh jadi tumpang tindih dengan wilayah konservasi di seluruh DAS di hulunya. Ini tentunya berpotensi konflik di antara pemangku kepentingan di wilayah hulu dan hilir.

Sementara itu  ketika kebijakan yang disusun cenderung berorientasi pada perluasan lahan untuk perkebunan kelapa sawit sebagai penghasil bahan baku energi nabati, hal ini berpotensi mengeskalasi berbagai konflik lahan yang sudah ada, dikarenakan nyaris tidak ada lahan yang bebas dari hak atau klaim suatu pihak.

Selain konflik lahan, proyek energi tertentu juga dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan – seperti polusi udara, air, suara dan dampak lainnya –sehingga berpotensi menjadi sumber masalah. Singkat kata, makin besar skala suatu proyek penghasil energi tentu semakin luas pula manfaatnya, tetapi  semakin besar pula risiko timbulnya masalah dan konflik.

Lalu bagaimana prakarsa pengembangan sumber-sumber energi alternatif itu perlu disiapkan agar tidak menjadi penyebab konflik? Mengantisipasi risiko niscaya konflik dalam pembangunan, CRU mengusung gagasan “pendekatan peka konflik”. Sesungguhnya potensi konflik dalam pembangunan bukannya belum disadari dan bahkan sudah cukup banyak regulasi “peka konflik” yang bertujuan meminimalisasi dan memitigasi risiko timbulnya konflik-konflik itu. Ada regulasi yang mewajibkan pemrakarsa pembangunan untuk melakukan kajian lingkungan dan sosial serta memperoleh FPIC (free prior informed consent), aturan tentang perizinan konsesi lahan yang harus clean and clear, aturan tentang pembebasan lahan dan ganti-rugi yang memadai, aturan tentang kewajiban membangun IPAL (instalasi pengelola air limbah), aturan-aturan tentang pengelolaan DAS (daerah aliran sungai) dan berbagai aturan tentang lingkungan yang lain merupakan contoh-contoh upaya negara untuk mengendalikan dan memitigasi risiko timbulnya masalah dan konflik.

Yang menjadi persoalan kemudian, pada banyak kasus aturan-aturan itu dilakukan secara proforma saja – sekedar memenuhi syarat di atas kertas, sementara dalam kenyataan diabaikan – atau dilakukan dengan mutu metodologis yang tidak memadai.Hal ini bisa terjadi karena beberapa sebab; antara lain kecenderungan mengambil jalan pintas karena tidak menyadari risiko jangka-panjang atau karena metodologi pelaksanaan yang kurang dipahami.

Ini bukan saja masalah penegakan hukum manakala peraturan dan regulasi yang sudah ada tersebut nyata-nyata dilanggar, tetapi mungkin yang lebih penting adalah pengembangan kesadaran tentang manfaat pendekatan peka konflik dalam jangka panjang serta membangun proses pembelajaran tentang metodologi penerapan pendekataan peka konflik dalam bingkai peraturan dan regulasi yang sudah ada.

Pendekatan peka konflik yang berangkat dari asumsi bahwa tidak ada bentuk intervensi pembangunan yang netral sehingga diperlukan upaya  yang sadar dan terencana untuk mengurangi potensi konflik karena adanya potensi tumbukan klaim dan kesenjangan manfaat dari pembangunan, seperti di atas. Menggunakan pendekatan ini juga untuk memastikan bahwa hak -hak dan kepentingan-kepentingan para pihak dalam suatu proyek terpenuhi  dan sekaligus berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi perlindungan akan hak-hak tersebut.. Sehingga ini sejalan dengan  pesan “Leaving No One Behind” yang disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pidatonya sebagai pemangku presidensi G20 di UN Assembly Meeting tahun 2020 lalu,

Itulah sumbangan potensial pendekatan peka konflik terhadap agenda G20 dalam upaya transisi dari sumber-sumber energi konvensional kepada sumber-sumber energi alternatif yang berkelanjutan.

Foto oleh Dimas Febrianto.