Representasi Para Pihak dalam Proses Perundingan dengan Mediasi

2 Desember 2022

Dalam setiap proses mediasi konflik agraria atau kekayaan alam diperlukan perwakilan para pihak yang berkonflik. Perwakilan itu diperlukan karena konflik pada umumnya menjadi kepentingan berbagai pihak yang jumlahnya bisa cukup banyak, sementara secara praktis hampir tidak mungkin melibatkan semuanya secara langsung ke dalam perundingan. Perwakilan yang representatif dan menyuarakan aspirasi pihak yang diwakilinya (konstituen) menjadi salah satu faktor utama yang menentukan mutu kesepakatan serta dukungan  konstituen dalam pelaksanaannya kemudian.

Sebaliknya suatu kesepakatan yang dihasilkan melalui proses perundingan antara perwakilan yang tidak berkemampuan dan representatif bisa jadi kurang relevan dengan konflik yang sesungguhnya dan tidak dapat dilaksanakan karena tidak mendapat dukungan para pihak.

Oleh karenanya, di sini penting untuk dibahas tentang pengertian dan beberapa kriteria umum perwakilan. Perwakilan adalah seseorang atau lebih yang dipercaya oleh para pihak yang berkonflik untuk mewakili mereka dalam proses perundingan. Satu prasyarat mutlak adalah bahwa perwakilan tersebut harus amanah dan memegang teguh amanat kelompok yang diwakilinya. Selain itu, wakil para pihak haruslah menguasai persoalan, mampu berunding dengan pihak lainnya dan terus berkonsultasi secara baik dengan pihak yang diwakilinya.

Sepanjang perjalanan menangani berbagai konflik agraria dan kekayaan alam, CRU sering menghadapi berbagai permasalahan yang cukup menantang dalam menemukan perwakilan para pihak ini, diantaranya,

  • Perwakilan yang kurang menguasai persoalan konfliknya dan berkemampuan untuk meng­komunikasikan kepentingan pihaknya kepada pihak lainnya. Hal ini bisa terjadi karena pemilihan wakil yang kurang cermat bahkan dipilih tanpa pertimbangan dan kriteria yang jelas.
  • Bias elit. Ini adalah kenyataan bahwa seringkali yang menjadi perwakilan pihak dari kelompok masyarakat adalah tokoh masyarakat yang cenderung dominan karena adanya kesenjangan kapasitas di antara anggota masyarakat itu sendiri. Tokoh masyarakat pada umumnya lebih terbiasa berhubungan dengan orang dari luar desa, lebih percaya diri dan mahir berbicara di depan umum atau pun forum, sehingga akhirnya masyarakat percaya pada tokoh tersebut. Ada beberapa kasus dimana tokoh tersebut memiliki pandangan yang berbeda terkait konflik yang dihadapi. Jika hal ini terjadi maka bisa jadi solusi penyelesaian yang dicapai lebih menguntungkan tokoh tersebut dan belum tentu juga merupakan aspirasi pihak yang diwakilinya.
  • Disorganisasi atau bahkan pertentangan internal. Dalam suatu kasus sering juga ditemui bahwa salah satu pihak tidak kompak dan justru muncul kubu-kubu yang bertentangan lalu saling berkonflik di antara mereka. Akibatnya pihak itu tidak dapat menyepakati pokok perundingan dan kepentingan bersama mereka, bahkan tidak mampu menyepakati siapa perwakilan mereka. Perwakilan yang ditunjuk oleh satu kelompok bisa jadi ditolak oleh kelompok lainnya.
  • Kurangnya kewenangan perwakilan dalam mengambil keputusan tentang pilihan penyelesaian konflik yang muncul dalam perundingan. Bisa terjadi walaupun perwakilan disepakati pihak tetapi tidak sepenuhnya dipercaya untuk mengambil keputusan.
  • Pengatasnamaan. Dalam beberapa kasus, yang mengajukan diri sebagai juru-runding untuk mewakili masyarakat adalah staf lembaga pendamping masyarakat. Perlu dicermati, seorang juru bicara seperti pendamping masyarakat tidak lantas menjadi perwakilan kelompok masyarakat, walaupun hal tersebut memungkinkan selama mendapatkan mandat dari konstituennya.
  • Kurangnya komunikasi antara perwakilan dan konstituennya. Selama proses perundingan para perwakilan perlu tetap berkomunikasi dengan pihak yang diwakilinya agar pihak yang diwakilinya bisa memahami bagaimana suatu keputusan diambil dan suatu solusi disepakati.

Lalu bagaimana cara mengatasi tantangan-tantangan tersebut?

  • Sejak tahap pra-asesmen hingga ke kajian lanjutan, diperlukan usaha untuk mulai mengidentifikasi dan memunculkan tokoh-tokoh alternatif yang berpotensi menjadi wakil. Tanpa bermaksud untuk menentukan para wakil, proses ini lebih untuk mengenalkan individu yang berpotensi menjadi wakil.
  • Selanjutnya proses asesmen juga didayagunakan untuk membahas perbedaan internal dan membangun kesadaran tentang perlunya kekompakan dalam menghadapi perundingan dengan pihak lainnya. Membangun kekompakan terkadang mirip dengan mediasi walaupun tidak serupa. Yang penting adalah kesepakatan untuk berunding dan memperjuangkan kepentingan bersama.
  • Mendorong diselenggarakannya pertemuan internal para pihak untuk membahas kriteria perwakilan yang objektif dan menyepakatinya untuk memilih para wakil berdasarkan kriteria tersebut, merumuskan mandat mereka serta menyepakati protokol komunikasi antara para wakil dan konstituen mereka. Dengan mandat yang jelas maka lebih besar kemungkinan bahwa kesepakatan antara para para wakil akan sesuai dengan harapan konstituen mereka dan kemudian mendapat dukungan yang memadai untuk dapat dilaksanakan.
  • Mempersiapkan para wakil dengan sebaik-baiknya, karena walau telah dipilih secara cermat tidak serta-merta para wakil siap untuk menghadapi pihak lainnya dalam perundingan. Para wakil perlu mengerti tujuan dan prinsip perundingan, memahami mandatnya dan kepentingan konstituen yang diperjuangkan, serta bagaimana mengkomunikasikan dengan baik.
  • Memberi waktu dan kesempatan kepada para wakil/juru runding untuk berkonsultasi dan berkomunikasi dengan konstituennya agar perundingan dan hasilnya mendapat dukungan yang memadai. Para pihak perlu dapat mengikuti perkembangan proses perundingan agar mereka percaya bahwa perundingan tersebut berjalan secara

Itulah beberapa hal yang senantiasa harus menjadi  perhatian sebelum perundingan yang sesungguhnya. Pepatah yang menyebutkan bahwa persiapan yang baik adalah lebih dari separuh pekerjaan dapat dipastikan juga berlaku dalam hal ini.

Foto oleh Tom Fisk.