Selayang Pandang

Perluasan usaha sektor kehutanan dan perkebunan di Indonesia sepanjang lebih dari dua dasawarsa terakhir ini tidak dapat dipisahkan dari peningkatan konflik penggunaan lahan dan kekayaan alam, serta terbangunnya kesadaran akan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan konflik tersebut. Karena itu, kegiatan usaha berbasis lahan harus pula mencakup upaya pengelolaan konflik, mulai dari sengketa terbatas dan bersifat lokal, konflik penggunaan lahan yang lebih luas, sampai kasus pengelolaan lahan yang memerlukan penyelesaian yudisial sesuai dengan peraturan dan kebijakan terkait. Terminologi “konflik agraria” lebih umum digunakan daripada konflik lahan karena istilah tersebut merujuk pada masalah pengelolaan kekayaan alam yang lebih luas.

Reforma Agraria dianggap sebagai prioritas utama agenda reformasi nasional Indonesia pada tahun 1998. Pada tahun 2001, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI) mengeluarkan TAP MPR-RI No. IX/MPRRI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang bertujuan untuk mengatasi konflik agraria dan menangani dua masalah terkait, yaitu ketimpangan dalam penguasaan lahan dan sumber daya alam, dan kerusakan lingkungan yang parah. Ketetapan MPR tersebut mempertegas pandangan bahwa penyelesaian konflik agraria tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan reforma agraria secara menyeluruh, dan bahwa penyelesaian konflik tersebut dipandang baik sebagai sarana penyelesaian hak kepemilikan individu, maupun sebagai upaya menjamin keadilan redistributif warga negara.

Sebuah studi Bank Dunia yang diterbitkan pada tahun 2014 melaporkan bahwa hampir 25 juta hektar dari semua kawasan hutan yang ditetapkan – lebih dari 20 persen dari total kawasan hutan, yang mencakup hampir 20.000 desa – berada dalam konflik karena persaingan klaim hukum. Sebuah studi tahun 2017 tentang biaya konflik di sektor kelapa sawit menyimpulkan bahwa “biaya kumulatif konflik sosial adalah signifikan, tidak dihargai, dan dapat menimbulkan risiko serius terhadap capaian investasi.” Biaya langsung dari konflik ini berkisar antara USD 70.000 hingga USD 2.500.000 per lokasi, setara dengan 65% dari total biaya operasional per hektar, atau 132% dari biaya investasi tahunan per hektar. Laporan tersebut juga mencatat bahwa sebagian dari biaya itu tidak berwujud, atau “tersembunyi”. Demikian pula, sebuah studi tentang biaya konflik dari perspektif masyarakat menghitung biaya minimum tingkat rumah tangga yang tidak dapat direduksi yang timbul sebagai akibat konflik sebesar USD 2.795,00 per rumah tangga per tahun, dengan angka yang sedikit lebih tinggi (USD 3.456,00/tahun) untuk rumah tangga petani yang berpartisipasi dalam program plasma perkebunan.

Dalam konteks perubahan iklim, konflik lahan dan kekayaan alam merupakan penyumbang penting pada masalah ketidakpastian tenurial yang pada gilirannya turut mendorong percepatan perubahan tata-guna/tutupan lahan serta deforestasi. Oleh karena itu, penyelesaian konflik lahan dan sumber daya alam yang efektif tidak hanya menjadi faktor kunci dalam mencapai tujuan nasional untuk pembangunan yang adil dan berkelanjutan, tetapi juga merupakan elemen penting dalam mencapai target pengurangan emisi gas-gas rumah kaca (GRK) Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam komitmen Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (National Determined Contribution atau NDC) untuk memenuhi kesepakatan iklim Paris.

Pada 16 Mei 2016, Presiden Joko Widodo mengadopsi reforma agraria sebagai bagian dari Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017, yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 45/2016. Perpres tersebut menjabarkan program prioritas reforma agraria, yang mencakup penguatan kerangka regulasi untuk menyelesaikan konflik agraria, perbaikan regulasi kepemilikan tanah dan reforma agraria, kepastian hukum dan legalisasi tanah, pemberdayaan masyarakat dalam pemanfaatan dan produksi, serta implementasi kelembagaan reforma agraria pusat dan daerah.

Salah satu sasaran yang dicanangkan Presiden Joko Widodo pada masa jabatan keduanya adalah meningkatkan daya saing Indonesia dalam perekonomian global melalui perbaikan iklim investasi. Percepatan penyelesaian konflik agraria dan kekayaan alam merupakan salah satu prasyarat untuk mencapai tujuan tersebut. Terkait dengan hal tersebut, Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpres No. 86/2018 tentang Reforma Agraria. Dalam Perpres ini disebutkan, bahwa penyelenggaraan Reforma Agraria dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terhadap Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) melalui tahapan: (a) perencanaan Reforma Agraria; dan (b) pelaksanaan Reforma Agraria.

Sementara itu, sektor swasta semakin menyadari kebutuhan untuk menciptakan model bisnis yang lebih inklusif. Conflict Resolution Unit (CRU), sebuah prakarsa Kamar Dagang dan Industri (KADIN), yang bertujuan untuk memperbaiki iklim investasi berbasis lahan dan kekayaan alam melalui upaya mengurangi risiko yang terkait dengan konflik . Prakarsa CRU dimulai pada akhir tahun 2015 dan diinkubasi melalui Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD), untuk menjadi lembaga layanan resolusi konflik yang memberikan dukungan yang efektif, independen, dan andal untuk menyelesaikan konflik pengelolaan agraria dan kekayaan alam.

CRU memberikan dukungan untuk upaya program yang meliputi: (1) Mempromosikan mediasi sebagai pendekatan yang efektif untuk menyelesaikan konflik agraria dan kekayaan alam; (2) Menyediakan sumber informasi yang kredibel tentang resolusi konflik, sambil mendorong pendekatan pengelolaan agraria dan kekayaan alam yang lebih berkelanjutan; (3) Mensponsori kajian dan telaah tentang isu-isu yang berkaitan dengan konflik agraria dan kekayaan alam; (4) Memberikan dukungan terhadap upaya reformasi kebijakan melalui mediasi kebijakan publik; dan (5) Mengembangkan model kelembagaan yang berkelanjutan untuk penyediaan layanan resolusi konflik.

Selama periode 2016 hingga 2019, CRU (bekerja sama dengan 11 mediator profesional, dibantu oleh 36 pemagang) telah menangani total 56 kasus konflik di sektor kehutanan dan perkebunan, di berbagai lokasi, antara lain Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Dari 56 kasus tersebut, 23 kasus berhasil diselesaikan, dengan para pihak menandatangani kesepakatan untuk menghentikan konflik. Dalam upaya penyelesaiannya, dua puluh dua kasus di Sulawesi Tenggara yang pada awalnya dilihat sebagai konflik tenurial berbasis lokasi antara masyarakat dan perusahaan perkebunan kelapa sawit ditingkatkan penanganannya melalui mediasi kebijakan publik penuh, ketika ditengarai bahwa penyebabnya adalah tumpang tindih dalam peruntukan spasial antara sektor transmigrasi dan kehutanan. Penerima manfaat dari semua upaya resolusi konflik ini termasuk masyarakat dari 37 desa, 15 organisasi petani, dua organisasi masyarakat adat, tiga perusahaan kelapa sawit, dan tujuh perusahaan pemegang HPH.

Tantangan yang sekarang dihadapi CRU adalah membangun pengalaman dan reputasi dengan mengembangkan desain kelembagaan yang berfokus pada resolusi konflik agraria dan kekayaan alam serta benar-benar independen dan tidak memihak . CRU tetap berkomitmen pada tujuan menyelesaikan konflik agraria yang sedang berlangsung, sementara juga berkontribusi pada upaya nasional untuk mendapatkan kejelasan yang lebih besar atas hak atas tanah dan memastikan pengelolaan yang berkelanjutan atas lahan yang luas yang saat ini mengalami konflik.