Beberapa pertanyaan umum tentang CRU

Apa latar belakang prakarsa Conflict Resolution Unit (CRU)?

Prakarsa CRU berangkat dari pemahaman dan kesadaran bahwa konflik lahan dan kekayaan alam merupakan hal yang tidak terhindarkan dalam kegiatan dunia usaha, yang didominasi oleh paradigma pembangunan berorientasi pertumbuhan ekonomi. Model pembangunan tersebut cenderung mendorong produksi dengan perluasan lahan demi memenuhi permintaan akan bahan baku yang terus meningkat disamping inovasi teknologi yang juga terus dilakukan. Akibatnya terjadi kompetisi lahan yang juga dipicu oleh kenaikan jumlah penduduk serta meningkatnya tuntutan konsumsi. Akibat yang lain dari eksploitasi intensif ini adalah degradasi lingkungan ketika tingkat kerusakan alam yang terjadi tidak dapat diimbangi oleh kemampuan pulih alam.

Kompetisi tersebut memicu persaingan di antara para pelaku pembangunan dan usaha pada berbagai skala produksi yang berpotensi menjadi konflik atau sengketa, apabila tidak dikelola dan diatur dengan baik. Konflik merugikan semua pihak, tanpa memandang kedudukan dan kepentingannya. Jika tidak dapat dikendalikan konflik dapat mengganggu bahkan menghentikan usaha serta menimbulkan kerugian berupa biaya sosial, ekologi dan ekonomi, serta hilangnya peluang untuk pengembangan usaha itu sendiri di masa yang akan datang (opportunity cost).

Untuk itu, dibutuhkan sebuah upaya untuk mengurangi risiko timbulnya konflik serta upaya penyelesaiannya sebagai bagian integral dalam memperbaiki tata kelola sistem produksi dan konsumsi sumber daya alam. CRU diprakarsai oleh beberapa tokoh KADIN sebagai bentuk kontribusi dalam upaya memperbaiki iklim bisnis dan investasi di Indonesia melalui program penanganan konflik terutama yang berbasis lahan dan sumber daya alam.

Mengapa mediasi dapat menjadi pilihan efektif dalam menghadapi konflik dan sengketa?

Mediasi adalah pendekatan yang berlandaskan nilai-nilai kesukarelaan, imparsialitas, netralitas, keterbukaan, menjamin partisipasi seluruh para pihak yang berkepentingan, dan menjunjung semangat kerjasama dalam mencari titik temu kepentingan bersama para pihak. Pendekatan ini memungkinkan para pihak yang berkonflik untuk difasilitasi dalam merumuskan jalan keluar sebagai kesepakatan yang saling menguntungkan.

Mediasi dilakukan untuk mendapatkan titik temu (common ground) sebagai dasar memadukan kepentingan para pihak dalam kesepakatan yang dapat diterima untuk dilaksanakan oleh para pihak berupa “jalan keluar menang-menang” (win-win solution). Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan konfrontatif, seperti litigasi, yang berangkat dari penilaian salah atau benarnya tuntutan salah satu pihak ada pihak lainnya. Karena hanya bertujuan untuk mencapai pemecahan menang-kalah, maka hasilnya senantiasa zero-sum, dimana besarnya kemenangan atau keuntungan satu pihak sama besar dengan kekalahan pihak lainnya. Di sini waktu dan tenaga dihabiskan untuk mencari kelemahan dan kesalahan pihak lain.

Secara historis, mediasi sebetulnya telah berakar panjang di kehidupan masyarakat Indonesia dengan tradisi musyawarah untuk mufakat. Bahkan pemerintah merekomendasikan mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa secara damai yang tepat dan efektif serta membuka akses yang lebih luas kepada para pihak untuk memperoleh penyelesaian yang memuaskan serta berkeadilan, seperti telah diatur oleh Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016.

Mengapa KADIN memprakarsai CRU?

Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri (KADIN), dijelaskan bahwa peran utama KADIN adalah membina dan mengembangkan kemampuan, kegiatan, dan kepentingan pengusaha Indonesia untuk meningkatkan daya saing. Salah satu hal yang meng¬hambat usaha, terutama pada bidang usaha yang berbasis lahan, dan menjadikan iklim bisnis di Indonesia kurang kompetitif adalah berbagai konflik; baik konflik badan usaha dengan instansi pemerintah, sengketa antarbadan usaha, dan sengketa antara perusahaan dengan warga masyarakat. Karena itulah KADIN memprakarsai pembentukan CRU sebagai kontribusi organisasi ini kepada upaya memberbaiki iklim usaha dan investasi. Pembentukan CRU dilaksanakan sebagai sebuah proyek yang ke depannya diusahakan menjadi sebuah fasilitas yang independent, yang ini sedang diinkubasi melalui Indonesia Bussiness Council for Sustainable Development (IBCSD).

Mengapa fokus pada konflik lahan, sumberdaya alam, dan lingkungan?

Pemanfaatan lahan dan kekayaan alam di Indonesia masih merupakan penggerak utama perekonomian Indonesia. Dalam praktiknya pemanfaatan lahan dan kekayaan alam seringkali didorong oleh model pembangunan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang memicu tingginya kebutuhan lahan dan bahan mentah dari kekayaan alam sehingga menciptakan situasi kompetitif, yang apabila tidak dikelola, dapat mudah menjadi konflik. Pengaduan akan terjadinya konflik terkait lahan dan kekayaan alam terus bertambah dari waktu ke waktu walaupun inisiatif-inisiatif penyelesaian konflik dari Pemerintah maupun pihak lain terus dilakukan.

Di sisi lain, konflik lahan dan kekayaan alam menimbulkan kerugian bagi semua pihak. Tidak hanya kerugian berupa ketidakpastian akan masa depan (karena terjadi konflik), kerugian finansial namun juga konflik menyebabkan daya saing negara bagi investasi dalam negeri maupun luar negeri menurun.

Eskalasi konflik lahan dan kekayaan alam juga dapat dengan mudah bertransformasi menjadi konflik sosial. Pengelolaan konflik lahan dan kekayaan alam dengan praktik terbaik akan meminimalisir benih-benih konflik lain dan juga membantu tujuan nasional untuk pembangunan yang adil dan berkelanjutan.

Bagaimana pengelolaan konflik dalam praktiknya dilakukan?

Pada banyak kasus, pengelolaan konflik cenderung dilakukan secara reaktif dan kurang terencana. Misalnya, sering kita mendengar ketika suatu sengketa merebak, pejabat pemerintah dari instansi yang memiliki kewenangan terkait dengan pokok sengketa serta-merta memanggil dan mempertemukan para pihak yang bersengketa dan mengajak mereka mencari solusi melalui musyawarah. Namun seringkali langkah dengan niat baik ini menghasilkan kesepakatan yang tidak dapat diterima oleh para pihak. Keadaan ini antara lain disebabkan oleh:

  • Belum ada kehendak yang sungguh-sungguh dari para pihak untuk menghentikan konflik. Mereka datang dan bertemu sebatas memenuhi undangan pejabat instansi yang bewenang.
  • Belum memahami sengketa yang bersangkutan secara menyeluruh atau bahkan merasa tidak mempunyai sengketa.
  • Perwakilan para pihak yang berunding tidak mewakili kepentingan dari penentu kebijakan pihak perusahaan atau kepentingan yang lebih luas dari masyarakat.
  • Tidak ada atau belum ada informasi yang memadai sebagai dasar untuk merancang solusi terbaik yang dimungkinkan dalam realita konteks konflik yang dihadapi saat itu.

Untuk mengurangi dan menghindari hal-hal tersebut, CRU mengupayakan pendayagunaan cara-cara penyelesaian konflik yang rasional dan sistematis yang mencakup antara lain (1) membangun hubungan kerjasama antara para pihak, (2) kajian untuk membangun dasar informasi yang memadai guna memahami konflik dan konteksnya dengan baik serta mengidentifikasi alternatif-alternatif solusi yang tepatguna, (3) merancang dan memandu kerjasama antara para pihak yang berkonflik, biasanya melalui perundingan dan perencanaan bersama. Dalam khasanah metodologi penyelesaian konflik cara ini disebut “perundingan dengan mediasi”, atau sering “mediasi” saja.

Pengelolaan konflik yang lebih baik pada akhirnya akan membawa para pihak yang berkonflik kepada kesepakatan yang dapat diterima, dilaksanakan dan berkelanjutan (acceptable, actionable and sustainable agreement).

Bagaimana CRU mengelola kasus-kasus konflik yang ditangani?

Setiap kasus yang dirujuk ke CRU ditelaah untuk menilai kesesuaian kasus untuk dimediasi. Untuk itu CRU telah mengembangkan sistem penelusuran/pelacakan proses penyelesaian konflik. Sistem penelusuran/pelacakan kasus membantu proses pengambilan keputusan maupun penilaian yang lebih efisien dan efektif terutama untuk memastikan komitmen para pihak untuk menyelesaikan konflik. Alur pengambilan keputusan dalam proses pengelolaan konflik yang diusung CRU, tergambar dalam bagan di bawah ini.


CRU memfasilitasi proses mediasi berdasarkan persetujuan para pihak yang berkonflik. Karena setiap konflik berbeda, baik para pihaknya, pokok-pokok konfliknya, maupun konteksnya, tidak ada cara penyelesaian konflik yang baku, tetapi secara umum proses mediasi mencakup beberapa hal sebagai berikut: (1) Pengkajian awal untuk menentukan apakah konflik tersebut dapat dimediasi, (2) Kajian menyeluruh terhadap konflik, termasuk memperoleh persetujuan para pihak yang berkonflik; (3) Pemilihan mediator dan persiapan masing-masing pihak; (4) Pertemuan perundingan; (5) Perencanaan pelaksanaan kesepakatan, dan akhirnya (6) Pelaksanaan kesepakatan yang sudah direncanakan dan pemantauan bersama.

Bagaimana pengelolaan konflik dapat berkontribusi dalam mengurangi deforestasi dan efek gas rumah kaca global?

Kejadian konflik lahan dan kekayaan alam merupakan salah satu pemicu deforestasi dan degradasi kekayaan alam. Ketika terjadi konflik, timbul rasa saling tidak percaya antara para pihak dan atau pemangku kepentingan. Akibatnya kejadian konflik yang tidak terselesaikan tersebut mengurangi insentif bagi para pihak untuk mengelola penggunaan lahan dan kekayaan alam secara berkelanjutan. Contohnya, masyarakat merasa tidak memiliki insentif untuk menjaga hutan ketika mereka khawatir bahwa pihak lain akan menebang hutan mereka. Sebaliknya pihak perusahaan merasa tidak perlu menjaga wilayah konsesinya karena khawatir bahwa pihak lain tidak menghargai batas-batas wilayah konsesi dan menggunakan sumber daya alam di wilayah yang mereka kelola.

Lebih jauh, konflik yang tidak terkelola dapat bereskalasi menjadi konflik yang lebih besar dan termanifestasi dalam aksi-aksi destruktif sebagai siasat para pihak untuk menunjukkan posisi. Aksi-aksi seperti pembakaran lahan, penahanan oknum, perambahan hingga pengrusakan kebun merupakan contoh-contoh manifestasi konflik yang bisa terjadi. Kejadian konflik seperti ini akan menyulitkan diperolehnya dukungan dan komitmen dari semua pemangku kepentingan untuk proyek-proyek yang mendukung pengelolaan lahan dan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Karenanya pengelolaan konflik merupakan bagian tak terpisahkan dari konsep pengelolaan lahan dan kekayaan alam yang berkelanjutan.

Bagaimana pengelolaan konflik dapat berkontribusi dalam perbaikan iklim bisnis dan investasi di Indonesia?

Para penanam modal atau investor selalu mempertimbangkan faktor risiko dalam setiap proyeksi keuntungan usaha mereka. Walaupun secara umum, risiko membesar sejalan dengan potensi keuntungan namun jika faktor risiko dinilai terlalu besar, tidak sedikit investor mengalihkan investasinya ke wilayah lain, yang dinilai memiliki tingkat risiko yang lebih kecil. Salah satu faktor risiko tersebut adalah potensi kejadian konflik karena belum ada kepastian status lahan .

Absennya kepastian lahan bagi investor merupakan hal rawan yang menjadi resiko dalam berusaha. Hal ini tentu akan menghambat perkembangan usaha dan pada akhirnya mempengaruhi roda perekonomian. Dari perspektif masyarakat setempat, kepastian lahan diperlukan untuk memastikan manfaat investasi terhadap kehidupan mereka.

Kesadaran untuk menjadikan pengelolaan konflik sebagai bagian terpadu dari pengelolaan usaha, memungkinkan penyelesaian konflik seperti yang disebutkan di atas untuk lebih efisien dan efektif. Investor pun akan merasa nyaman dalam menjalankan usahanya dan minat berinvestasi akan tumbuh. Hal ini pada akhirnya akan memberikan pengaruh positif pada iklim bisnis di Indonesia.