Menumbuhkan dan Merawat Kepercayaan: Fondasi Penanganan Konflik yang Dialogis

Pengalaman CRU Indonesia menunjukkan bahwa kepercayaan yang menjadi prasyarat dasar penyelesaian konflik secara kolaboratif, tidak hadir begitu saja. Ia tumbuh dari keterbukaan informasi dan pelibatan semua pihak sejak awal. Dalam banyak kasus, proses formal sering dimulai setelah konflik memanas. Namun memulai proses formal ketika konflik dalam keadaan tereskalasi bukanlah suatu gagasan yang baik karena mencerminkan hubungan para pihak belum terjalin baik. Selain hubungan baik, untuk menghasilkan kesepakatan yang baik, yaitu yang benar-benar mengakomodasi kepentingan para pihak, diperlukan dasar informasi yang memadai. Pada gilirannya, dasar informasi itu hanya dapat tercapai jika mediasi dibangun dengan transparansi sejak tahap awal dan kepercayaan timbal-balik antara para pihak. Hal ini akan membuat mereka merasa aman untuk berbagi informasi tentang kepentingan dan kekhawatiran mereka serta informasi lain untuk dapat mengambil keputusan bersama yang baik.
Transparansi berarti semua orang tahu aturan mainnya, peta wilayah, data kepemilikan, dan kronologi peristiwa dibuka bersama bukan disimpan sepihak. Artinya semua pihak harus dilibatkan. Pelibatan berarti setiap pihak, mulai dari perusahaan, lembaga pemerintah terkait, hingga komunitas lokal, tidak hanya diundang ketika keputusan sudah hampir jadi. Melainkan turut merancang prosesnya, mencermati dan menganalisis informasi yang ada, dan merumuskan solusi. Dengan begitu, tidak ada yang merasa “diberi tahu”, melainkan “diajak memutuskan”.
Dalam konflik lahan, di mana luka sosial bisa diwariskan lintas generasi, perbaikan relasi dan mengembangkan transparansi, menjadi prasyarat penyelesaian substansi. Dengan kedukarena hanya dengan keduanya penyelesaian konflik dapat berkelanjutan.
Di salah satu kasus yang difasilitasi CRU, misalnya, suatu perusahaan perkebunan dan warga desa sudah saling curiga selama bertahun-tahun. Pertemuan awal dimulai hanya untuk membicarakan agenda dan tata cara pertemuan berikutnya. Meski terdengar lambat, justru di situlah fondasi kepercayaan mulai terbentuk. Warga melihat perusahaan bersedia membuka dokumen dan mendengar keluhan. Perusahaan melihat warga mau duduk bersama meski perbedaan belum selesai. Hasilnya, proses mediasi berjalan lebih lancar. Kesepakatan yang dicapai bukan hanya mengatur batas lahan, tetapi juga membuat mekanisme komunikasi jangka panjang. Ketika curah hujan tinggi merusak sebagian tanaman warga, perusahaan langsung mengirim bantuan bibit—sebuah isyarat bahwa hubungan mereka kini berbeda.
Hubungan baik dan kepercayaan timbal balik, seperti tanaman, butuh ditanam dan dirawat. Ia tumbuh dari tanah yang disiram dengan keterbukaan, diperkuat oleh akar pelibatan, dan berbuah pada saat para pihak melihat manfaat nyata dari hubungan baru mereka.
Di masa sekarang, ketika konflik sering diberitakan dengan nada tegang, cerita-cerita semacam ini menunjukkan bahwa mediasi adalah investasi sosial. Bukan hanya menyelesaikan konflik, tetapi juga menumbuhkan keyakinan bahwa dialog bisa mengubah arah hubungan—dari saling curiga menjadi saling jaga. Pendekatan ini menggeser persepsi publik tentang mediasi. Ia bukan sekadar “alternatif” yang diambil ketika jalur hukum dianggap buntu, melainkan sebuah ruang dialog yang memulihkan relasi.
Foto oleh Johanes Minawan Laksana.