Lembaga Penanganan Konflik Lahan dan Kekayaan Alam yang Dibutuhkan Indonesia: Sebuah Refleksi Kelembagaan

Pada Mei 2025, CRU Indonesia menggelar Rapat Umum Anggota Tahunan (RUAT) pertama yang menghasilkan berbagai masukan strategis penting untuk pengembangan lembaga ke depan. Meskipun untuk CRU Indonesia, masukan ini juga relevan bagi lembaga penanganan konflik lain. Tulisan ini membahas isu utama terkait lembaga penanganan konflik lahan dan sumber daya alam yang dibutuhkan Indonesia, terutama di tengah meningkatnya jumlah dan intensitas konflik lahan dan kekayaan alam dalam konteks pembangunan saat ini.
Dalam situasi tersebut, kebutuhan akan lembaga penyelesaian konflik yang kuat dan efektif menjadi semakin mendesak. Tantangan ini bukan hanya menyangkut penyelesaian konflik kasus per kasus, tetapi juga mencakup aspek yang lebih struktural, seperti bagaimana memperkuat tata kelola, menciptakan kondisi yang mendukung (enabling conditions), serta membangun kepercayaan publik terhadap lembaga yang berperan di bidang ini.
Lembaga penanganan konflik lahan dan kekayaan alam yang dibutuhkan perlu mencerminkan tiga ranah kerja utama: (1) menciptakan kondisi yang memungkinkan pengelolaan lahan dan kekayaan alam secara adil dan inklusif, (2) mendukung pemenuhan standar dan kepatuhan terhadap prinsip keberlanjutan serta hak asasi manusia, dan (3) menangani konflik melalui mekanisme yang kredibel dan partisipatif. Kombinasi ketiganya akan menjadikan lembaga tidak hanya responsif dalam menangani konflik di hilir, tetapi juga proaktif dalam mengurangi risiko konflik melalui kontribusi terhadap sistem tata kelola yang lebih tangguh sebagai upaya di hulu.
Namun, agar efektif, lembaga seperti ini harus memiliki DNA kelembagaan yang adaptif—yakni nilai-nilai dasar dan orientasi kerja yang memungkinkan perubahan dan inovasi. Selama ini, banyak lembaga penyelesaian konflik terjebak dalam peran sempit, sebagai fasilitator teknis atau penengah kasus semata. Ke depan, DNA lembaga perlu diperluas dengan peran sebagai pengembang gagasan baru dan pemikir strategis dalam pengelolaan lahan serta sumber daya alam. Selain itu, lembaga ini juga harus memposisikan diri sebagai pusat keunggulan metodologis: mengembangkan dan mempopulerkan pendekatan-pendekatan baru yang berbasis konteks lokal, namun tetap sejalan dengan prinsip keadilan global dan hak asasi manusia.
Upaya serius dalam branding dan positioning juga penting. Lembaga ini perlu dikenali oleh masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah sebagai entitas strategis, bukan sekadar penyelesai konflik. Karena itu, penggunaan istilah positif dan pengarusutamaan gagasan harus menjadi bagian dari strategi komunikasi agar keberadaan lembaga ini diterima sebagai bagian dari upaya menerus pengembangan sistem pembangunan nasional yang inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan
Selain itu, pengembangan kelembagaan menjadi elemen kunci. Organisasi penanganan konflik harus memperkuat kapasitas internalnya, baik dari sisi kapital manusia, struktur, maupun mekanisme pengambilan keputusan. Untuk menjamin keberlanjutan, lembaga juga perlu memiliki model pendanaan campuran, termasuk dari active income — dengan tetap menjaga integritas dan independensi dalam melayani berbagai pihak.
Terakhir, penting untuk memperhatikan skala dan efektivitas biaya (cost effectiveness). Lembaga yang terlalu besar tanpa fokus bisa kehilangan daya dorong, sementara yang terlalu kecil tidak mampu menjawab tantangan-tantangan yang lebih luas. Oleh karena itu, lembaga harus mampu menyeimbangkan antara besarnya biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh, dengan tetap adaptif, modular, dan responsif terhadap kebutuhan yang terus berkembang.
Singkatnya, wujud lembaga penanganan konflik lahan dan sumber daya alam yang efektif dan dibutuhkan bukan hanya soal struktur, tapi juga soal cara berpikir dan bertindak strategis. Di masa depan, lembaga ini harus mampu menjawab tantangan kerumitan sosial-ekologis Indonesia, sekaligus menjadi inspirasi untuk reformasi tata kelola yang adil dan berkelanjutan.
Foto: Dokumentasi CRU Indonesia