Tantangan Dalam Berbagi Pembelajaran Penanganan Konflik Agraria dan Kekayaan Alam dari Tapak ke Tingkat Hulu

8 September 2023

Dalam upaya pembangunan, khususnya dalam pengelolaan sumber agraria dan kekayaan alam, konflik merupakan sebuah keniscayaan. Hal ini tentu menjadi penghambat proses pembangunan pada umumnya. Selama ini sudah banyak prakarsa penanganan konflik, dan salah satu model penanganan konflik yang sedang tumbuh adalah pendekatan mediasi di tingkat tapak. Pengalaman menunjukkan bahwa walaupun dilakukan di tingkat tapak, upaya-upaya penanganan di tingkat tapakĀ  memerlukan dukungan dari para penentu kebijakan di tingkat hulu. Lebih dari itu, di Indonesia, banyak konflik agraria berakar dari regulasi dan kebijakan di masa lalu serta tingginya dinamika regulasi dan kebijakan saat ini.

Selama ini, pengalaman CRU dalam menangani berbagai kasus menunjukkan, bahwa setiap kasus bersifat unik, karena tingginya ragam konteks sehingga memerlukan proses penanganan sesuai konteks dan latar masing-masing kasus. Oleh karenanya, pada setiap penanganan kasus CRU senantiasa berupaya mengumpulkan pembelajaran sebagai bahan pemikiran dan gagasan untuk menginformasikan para pembuat dan pelaksana kebijakan di tingkat hulu.

Meskipun demikian, dalam praktiknya, upaya penyampaian pembelajaran dari hilir ke tingkat hulu menghadapi beberapa tantangan. Pertama, ada kesenjangan antara para pembuat kebijakan di tingkat hulu dan para praktisi yang menangani konflik di tingkat tapak serta para pihak yang berkonflik. Bagi para pihak di tingkat hilir, konflik sangat penting karena langsung dihadapi serta berpengaruh nyata dalam hidup mereka. Sementara itu, dengan banyaknya kasus konflik yang perlu ditangani, para pembuat kebijakan tentu sulit melacak dan memahami dampak kebijakannya terhadap kondisi setiap konflik di tingkat tapak.

Selain kesenjangan perspektif, kurangnya komunikasi antara para praktisi penanganan konflik di tingkat tapak dan para penentu kebijakan juga menjadi tantangan. Para praktisi pada umumnya tidak mempunyai akses terhadap proses pembuatan kebijakan. Hal ini mengakibatkan bahwa informasi penting seperti pokok-pokok konflik, keberadaan para pihak yang berkonflik dan kepentingan-kepentingan yang diperjuangkannya, sebagaimana disadari oleh para aktor di tingkat tapak tidak terbaca oleh para pembuat kebijakan di tingkat hulu. Akibatnya, kebijakan penanganan konflik di tingkat hulu bisa saja salah sasaran, menambah rumit konflik di tingkat tapak atau bahkan menimbulkan konflik baru.

Selain kesenjangan dengan para aktor di tingkat tapak, masih ada pula permasalahan pendekatan sektoral, sehingga institusi-institusi pembuat kebijakan yang bergerak sendiri-sendiri tanpa adanya komunikasi dan koordinasi yang efektif di antara mereka sehingga terjadi kebijakan yang saling tumpang tindih atau bahkan bertabrakan. Dengan kata lain, pendekatan ego-sektoral ini sangat mungkin menjadi salah satu penyebab konflik atau sekurang-kurangnya menghambat penyelesaiannya.

Semua tantangan itu masih diperumit juga oleh tingginya tingkat pergantian pemimpin, dan mutasi jabatan yang tidak diikuti oleh adanya komunikasi memadai tentang status konflik. Hal ini sering berdampak pada inkonsistensi kebijakan dan upaya penanganan konflik sehingga penanganan konflik seringkali menjadi terhambat.

Bagi para praktisi penangan konflik, uraian di atas menggambarkan pentingnya berbagi pengalaman dan pembelajaran dari tingkat hilir ke hulu serta tantangan-tantangan dalam upayanya.

Meskipun demikian, terdapat beberapa hal yang kiranya bisa diupayakan oleh para praktisi penanganan konflik, antara lain membangun komunikasi dengan para penentu kebijakan. Hal ini harus dimulai dari kemampuan dan kemauan untuk selalu belajar dari kasus-kasus yang ditangani serta berbagi hasil pembelajaran tersebut. Termasuk dalam hal ini adalah dokumentasi pembelajaran dari penanganan konflik di tingkat tapak yang dapat menjadi sumber pembelajaran bagi pihak lain serta upaya mendiseminasikannya melalui publikasi dan engagement dengan lembaga-lembaga pemerintah yang relevan di berbagai tingkatan. Engagement ini bisa dimulai dari tingkat yang paling memungkinkan untuk dijangkau, seperti tingkat kabupaten misalnya,sehingga upaya penanganan konflik menjadi upaya kolektif baik di tingkat hulu maupun hilir.

Foto oleh Raditya.