Mencari Jalan Pembiayaan Mandiri bagi Mediasi Konflik Lahan dan Kekayaan Alam
1 Desember 2025
Mengapa pendanaan independen penting bagi efektivitas penyelesaian konflik di tingkat tapak.
Konflik lahan dan kekayaan alam terus muncul di berbagai daerah di Indonesia. Dampak negatifnya tidak hanya dirasakan masyarakat yang kehilangan akses dan ruang hidup, tetapi juga merambat ke dunia usaha dan pemerintah. Biaya konflik—mulai dari kerugian langsung, kerusakan aset, hingga hilangnya peluang ekonomi—sering kali jauh lebih besar dibanding biaya untuk mencegah dan menyelesaikannya.
Karena itu, kehadiran penanganan konflik yang netral, profesional, dan dipercaya semua pihak menjadi kebutuhan mendesak. Namun fakta di lapangan menunjukkan satu tantangan besar: dari mana biaya penanganan konflik seharusnya berasal?
Penanganan konflik melalui, salah satunya, mediasi, tidak bekerja seperti proyek pembangunan dengan jadwal pasti, output terukur, dan anggaran yang ditetapkan sebelumnya. Setiap konflik punya ritme, dinamika, dan sensitivitas yang berbeda. Kadang prosesnya cepat, namun sering kali berliku dan panjang.
Model pendanaan berbasis proyek—yang selama ini umum digunakan donor dan pemerintah—sering kali tidak mampu mengakomodasi ketidakpastian ini. Hasilnya, keberlanjutan penanganan konflik bergantung pada siklus proposal dan persetujuan anggaran, bukan kebutuhan para pihak yang telah bersepakat menghentikan konflik mereka.
Di sisi lain, kepercayaan adalah modal utama dalam mediasi. Ketika sumber dana dianggap memihak, maka integritas lembaga ikut dipertanyakan.
Secara logis, para pihak yang berkonflik adalah penerima manfaat langsung dari mediasi. Tetapi, bila perusahaan mampu membayar lebih besar daripada masyarakat, persepsi keberpihakan hampir pasti muncul.
Membiayai penanganan konflik dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN/APBD) juga tidak mudah. Aturan birokrasi, batasan nomenklatur belanja, dan minimnya fleksibilitas membuat banyak proses mediasi tidak dapat berjalan sesuai kebutuhan lapangan.
Pengalaman ini menunjukkan bahwa persoalan pembiayaan bukan sekadar soal cukup atau tidaknya dana—tetapi apakah sumber dana itu mampu menjaga independensi, imparsialitas, dan keluwesan organisasi.
Untuk keluar dari ketergantungan pada pendanaan proyek, sejumlah negara mengembangkan dana amanah (trust fund) dimana salah satu pilihannya berupa dana abadi (endowment fund) yang dikelola secara independen, transparan, dan diawasi publik.
Model serupa sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Ada Yayasan Kehati dengan Ananta Fund, Dompet Dhuafa, hingga Yayasan Pangkai Meurunoe Aneuk Nelayan (YPMAN) di Provinsi Aceh. Semua menunjukkan bahwa pengelolaan dana publik secara akuntabel adalah hal yang mungkin.
Sumber dananya dapat berasal dari individu berpenghasilan tinggi, perusahaan yang tidak memiliki konflik kepentingan, dan donor yang bersedia berkontribusi dalam skema blind trust.
Dengan mekanisme investasi jangka panjang, dana yang terkumpul dapat mendukung pembiayaan mediasi tanpa harus bergantung pada proyek atau tekanan pihak tertentu.
Pada akhirnya, keberhasilan lembaga penanganan konflik sangat ditentukan oleh integritas pendanaannya. Tanpa sumber pembiayaan yang netral dan berkelanjutan, sulit menjaga objektivitas dan kepercayaan para pihak.
Dengan skema pembiayaan yang mandiri dan bebas konflik kepentingan, lembaga penanganan konflik dapat bekerja lebih tenang, lebih adil, dan lebih efektif—membantu masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha keluar dari lingkaran konflik yang merugikan semua pihak.
Photo by rahmad himawan.
