Menyikapi Paradoks Peran Media Massa dalam Penanganan Konflik Lahan dan Kekayaan Alam di Indonesia

9 Oktober 2023

Selama perjalanan kami dalam penanganan konflik lahan dan kekayaan alam, serta semakin luasnya berjejaring, beberapa kali kami dihubungi oleh beberapa pihak terkait pemberitaan suatu kasus konflik yang viral di media. Komunikasi itu bisa disertai permintaan untuk menangani konflik yang diberitakan itu ataupun hanya untuk didiskusikan. Pada kesempatan yang lain, pernah juga kami dihubungi untuk menangani suatu kasus yang hangat diberitakan di media massa sebagai konflik, namun setelah didalami ternyata para pihaknya tidak menganggap perkara itu sebagai suatu konflik yang harus ditangani.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pemberitaan-pemberitaan yang viral di media tersebut menciptakan kesan urgensi untuk segera ditangani. Hal itu bisa benar, dan memang pemberitaan di media menarik perhatian para pihak yang berkompeten terhadap konflik yang bersangkutan, bahkan perhatian publik kerap menciptakan tekanan untuk segera ditangani. Namun, sementara itu, di tingkat tapak kami pun menemui banyak sekali  kejadian konflik lain yang sudah berjalan cukup lama, bahkan sudah dilaporkan ke pihak berwenang, namun tidak tertangani sampai saat ini dan tidak juga menjadi pemberitaan. Melihat hal-hal tersebut timbul suatu pertanyaan yang menggelisahkan kami, apakah suatu kasus konflik lahan dan kekayaan alam harus menjadi pemberitaan viral dahulu untuk bisa menarik perhatian para pemangku kepentingan dan pihak yang berwenang untuk ditangani? Dan juga, jika hal itu benar, bukankah dalam konteks penanganan konflik melalui mediasi, hal itu merupakan suatu paradoks? Kemudian, bagaimanakah mediator atau lembaga penyelenggara penanganan konflik menyikapi paradoks tersebut?

Paradoksnya adalah bahwa dalam konteks penanganan konflik melalui mediasi, pemberitaan media massa, terutama yang sampai viral tentunya dapat mempengaruhi berjalannya proses penanganan konflik, bahkan bisa juga mempengaruhi hasil kesepakatan dari para pihak. Media memberikan pengaruh signifikan dalam membentuk opini publik, mempengaruhi persepsi tentang apa pokok konfliknya dan apa solusinya, yang dapat mempengaruhi proses penanganan konfliknya. Media memang dapat membantu mengangkat suatu konflik dan memberikan tekanan kepada pihak yang berkewenangan untuk bertindak, namun untuk menarik minat pembaca atau pemirsanya, banyak media juga cenderung membingkai berita secara sensasional dan menyudutkan salah satu pihak. Jika hal ini terjadi maka, media bisa mempengaruhi persepsi publik atau bahkan pihak berwenang untuk mempersalahkan salah satu pihak.

Selanjutnya, ketika pemberitaan media memberikan tekanan kepada para pihak untuk berunding demi penyelesaian masalahnya, tekanan itu juga akan mengurangi kesukarelaan dan komitmen para pihak yang cenderung timbulnya keterpaksaan mereka segera menyepakati solusi kompromi yang tidak optimal. Paradoks yang lain, walaupun pemberitaan media dipandang mendukung transparansi, hal ini bisa mengganggu proses penanganan karena mengabaikan prinsip kerahasiaan (confidentiality) yang menjadi salah satu dasar kepercayaan timbal balik antara pihak yang berkonflik dalam proses penanganan konflik.

Urgensi penanganan suatu kasus sesungguhnya tidak bisa hanya didasarkan pada aspek keviralannya, namun harus dikembalikan pada syarat penting penanganan konflik, yaitu kesediaan, komitmen dan kesukarelaan para pihak untuk bermusyawarah mencari jalan perdamaian. Hanya ketika kesediaan dan komitmen para pihak sudah  terbangun, maka proses penanganan konflik baik melalui mediasi ataupun metode penyelesaian lainnya dapat dimulai.

Singkatnya, semestinya viral tidaknya pemberitaan tidak menentukan suatu konflik menjadi prioritas untuk ditangani. Semestinya ada kanal komunikasi lain yang bisa diupayakan atau diakses para pihak yang dapat menjamin bahwa suatu konflik mendapatkan perhatian berbagai pihak dan pihak yang berkewenangan tanpa perlu dipicu oleh pemberitaan sensasional di media. Sebenarnya beberapa instansi dan perusahaan sudah mempunyai mekanisme pengaduan keluhan (grievance mechanism), namun pemberitaan yang viral di media nampaknya menjadi petanda belum optimalnya peran dan fungsi mekanisme tersebut.

Para mediator dan juga lembaga-lembaga penyelenggara konflik harus menyadari paradoks peran pemberitaan media dalam penanganan konflik. Keterpaparan media tidak dapat dikendalikan namun harus disikapi dengan bijak sehingga alih-alih menghambat proses, media dapat membantu jika potensinya diarahkan untuk memfasilitasi dialog, membangun pemahaman bersama dan menguatkan dukungan untuk para pihak dapat mencapai kesepakatan.

Kredit foto oleh zgr-pro.