Diskusi Grup: Perspektif Perempuan Kasepuhan Karang dalam Konflik Sumber Daya Alam

6 September 2017

Perempuan memiliki kedekatan khusus dalam mengelola sumber daya alam disekitarnya, walaupun terkadang belum secara utuh dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.

Hal tersebut terungkap dalam FGD Perspektif Perempuan dalam pengelolaan SDA dan resolusi konflik yang diselenggarakan di Gedung Manggala Bhakti, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tanggal 5 September 2017.

Diskusi grup ini diselenggarakan oleh Sub Direktorat Pengakuan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) – KLHK yang bekerja sama dengan Conflict Resolution Unit (CRU) di sela-sela kegiatan festival Perhutanan Sosial Nusantara (PESONA) yang diselenggarakan oleh KLHK.

Diskusi diikuti oleh perwakilan Kasepuhan Karang yang terdiri dari 35 orang perempuan dan 5 orang laki-laki. Mereka datang dalam rangka menghadiri kegiatan PESONA dan pada kesempatan ini perwakilan Kasepuhan Karang didaulat untuk menampilkan kesenian tabuh lisung yang merupakan kesenian khas dari Kasepuhan Karang.

Diskusi dibuka oleh sambutan dari Yuli Prasetyo Nugroho, Kasubdit Pengakuan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal Direktorat – PKTHA – KLHK. Pak Pras, demikian panggilan akrab Beliau, mengapresiasi kedatangan para peserta ke Jakarta untuk berpartisipasi dalam kegiatan PESONA dan berharap serangkaian kegiatan yang akan diikuti di Jakarta akan memberikan manfaat positif bagi masyarakat adat Kasepuhan Karang.

Sementara itu Navitri Putri Guillaume, Direktur program CRU-IBCSD yang turut memberikan sambutan dalam kegiatan tersebut, mengungkapkan apresiasi atas kearifan lokal yang telah dipraktekkan oleh masyarakat Adat Kasepuhan Karang dalam mengelola hutannya. Navitri berharap dapat belajar dari praktek hidup harmoni dengan alam tersebut termasuk didalamnya untuk menangani maupun meminimalkan konflik

Diskusi diarahkan kepada penggalian informasi tentang pendekatan perempuan Kasepuhan Karang dalam mengelola lahan dan sumber daya alam disekitarnya. Kasepuhan Karang merupakan satu dari beberapa kelompok masyarakat yang telah mendapatkan hak mengelola hutan adat dari Pemerintah.

Nia Ramdhaniaty, fasilitator dalam diskusi ini mengajak para peserta untuk berbagi cerita tentang pengalaman peserta dalam beradaptasi dengan dinamika perubahan status hutan adat. Lebih khusus lagi, Nia mencoba menggali lebih dalam bagaimana keterlibatan perempuan Kasepuhan Karang dalam perjalanannya.

Dari diskusi terungkap bahwa dalam proses panjang penetapan hutan adat Kasepuhan Karang, pelibatan perempuan hanya diposisikan sebagai pendukung khususnya logistik. Perempuan hanya ditempatkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pertemuan saja. “Kami tahu ada kegiatan untuk memperjuangkan hak, tapi kami mah kalau ada pertemuan, paling diminta untuk ngurusin makannya bapak-bapak yang pertemuan saja“, ungkap salah satu perempuan Karang.

 Namun demikian dalam mengelola hutan, perempuan melengkapi peran laki-laki. Sebagian besar pekerjaan di sawah dan di kebun serta di hutan dilakukan secara bersama oleh perempuan dan laki-laki Kasepuhan.Namun ada beberapa aktivitas pertanian yang hanya dilakukan oleh laki-laki seperti mencangkul, dan aktivitas pertanian yang hanya dilakukan oleh perempuan, yaitu ngored/ngoyos/membersihkan gulma.

Penetapan hutan adat seluas 486 ha membuka babak baru dalam pengelolaan hutan bagi masyarakat adat Kasepuhan Karang. Bagi perempuan Kasepuhan Karang, penetapan hutan adat memberikan rasa aman,

Kami bebas mengurus lahan kami”, ungkap seorang peserta.

Namun penetapan hutan adat mendatangkan kekhawatiran bagi Jaro (sebutan Kepala Desa) Wahid, tanggung jawab untuk menjaga mandat hutan adat dibebankan kepadanya dan warga Adat Kasepuhan Karang. Dan tantangan terbesarnya adalah men-sinergi-kan program-progam pemerintah yang dapat diterima dan sejalan dengan rencana tata ruang adat berdasarkan tatali paranti karuhun (aturan adat). Sesuai kebiasaan, Kasepuhan Karang tatali paranti karuhun tersebut berlaku untuk 20 tahun ke depan.

Dari diskusi ini terungkap juga asa dari perempuan Kasepuhan Karang. Perempuan Kasepuhan Karang berharap agar dapat lebih banyak terlibat. “Kami juga pingin tahu, supaya kami juga pinter, butuh informasi terhadap perkembangan wilayah adat kami sendiri“, salah satu peserta mengungkapkan harapannya di muka forum. Harapan lain diungkapkan antara lain untuk mendapatkan dukungan penguatan kapasitas seperti peningkatan ketrampilan pengolahan produk pasca panen hingga peningkatan untuk menyadartahukan mereka atas hak-hak perempuan.(CRU/RN)