Mediator sebagai Profesi?

27 Agustus 2022

Ketika mediasi dipercaya sebagai alternatif yang layak dipertimbangkan  sebagai metode penanganan konflik agraria dan kekayaan alam yang efektif, ketersediaan mediator yang handal dan mumpuni merupakan suatu keharusan. Namun, walaupun ada beberapa lembaga yang telah menyelenggarakan pelatihan mediator, saat ini jumlah dan kapasitas mediator yang nyata ada masih sangat terbatas dibandingkan dengan jumlah dan sebaran konflik agraria dan kekayaan alam yang ada.

Jika berperan penting dalam proses mediasi dan banyak dibutuhkan, mengapa mediator masih belum menjadi profesi umum di Indonesia? Ada banyak alasan untuk hal ini, antara lain:

  • Profesi ini belum banyak dikenal. Sebagai contoh, beberapa waktu yang lalu, kami mewawancarai 15 orang mahasiswa fakultas hukum yang melamar menjadi calon pemagang di CRU. Dari rangkaian wawancara tersebut muncul suatu kenyataan yang menggelitik kami, yakni bahwa tidak satu pun dari mahasiswa yang diwawancarai tersebut, berminat untuk menekuni profesi mediator sebagai salah satu pilihan jenjang karirnya.
  • Profesi mediator masih sulit dijadikan gantungan sumber nafkah karena lembaga mediasi yang menawarkan peluang kerja sebagai mediator pun sangat terbatas. Kalaupun ada, peluang itu bersifat paruh-waktu sesuai dengan kasus spesifik pada waktu tertentu saja. Memang berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma No. 01 Tahun 2008 dan No.1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan) penyelesaian kasus-kasus di Pengadilan perlu didahului dengan upaya mediasi dengan bantuan mediator yang terdaftar di Pengadilan Negeri dan ditunjuk oleh hakim, tetapi dalam prakteknya peraturan ini belum banyak dijalankan. Dan memang, kebanyakan mediator yang membantu CRU dalam menangani konflik tidak bekerja secara purna-waktu sebagai mediator, namun masih mengandalkan profesi lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, misalnya sebagai trainer mediator hingga fasilitator kegiatan pengembangan komunitas.
  • Ketersediaan mediator yang handal dan mumpuni dalam penanganan konflik agraria dan kekayaan alam menjadi tantangan tersendiri. Menjadi seorang mediator yang secara khusus menangani konflik agraria dan kekayaan alam juga sangat menantang. Tidak serta-merta seorang mediator dapat menangani konflik agraria dan kekayaan alam yang menuntut pengetahuan khusus dalam bidang ini. Untuk itu, salah satu upaya CRU untuk mengembangkan mediator dengan spesialisasi itu adalah dengan membuka peluang magang bagi mediator atau calon mediator.
  • Secara umum mediasi belum dikenali sebagai pendekatan yang efektif untuk menangani konflik agraria dan kekayaan alam. Di lapangan, kami pun melihat kenyataan bahwa dalam banyak kasus konflik, mediasi tidak menjadi pilihan pertama. Bukan karena dianggap tidak cocok, namun lebih karena mediasi tidak dikenal oleh para pihak yang berkonflik. Tetapi kalaupun pilihan mediasi terpikirkan, para pesengketa tidak menemukan adanya mediator yang bisa membantu mereka, khususnya mediator yang memiliki kekhususan konflik agraria dan kekayaan alam.

Singkat kata, dengan menggunakan idiom bisnis, ada masalah dalam hal supply, yakni ketersediaan mediator, dan demand, yakni permintaan akan layanan mediasi. Pertanyaannya adalah bagaimana secara berimbang mengembangkan keduanya atau bagaimana mengembangkan demand potensial, yakni adanya sejumlah besar konflik agraria dan kekayaan alam di Indonesia, menjadi pemintaan nyata, dan pada saat yang sama mengembangkan jumlah dan kapasitas mediator yang dapat secara efektif merespon permintaan itu.

Permintaan dapat dikembangkan melalui promosi, penyadaran dan sosialisasi gagasan pendekatan pengelolaan konflik secara kolaboratif – utamanya mediasi – sebagai alternatif penyelesaian konflik yang lebih efektif dan efisien daripada upaya-upaya penyelesaian konflik lainnya. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai cara dan saluran seperti publikasi, seminar, media sosial, dan sebagainya.

Sementara pengembangan sediaan mediator dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan pengembangan kapasitas, antara lain pelatihan, magang, penyediaan bahan belajar dan referensi, dan sebagainya. Seperti sudah disebutkan, pelatihan-pelatihan ini sudah banyak dilakukan lembaga mediasi, hanya saja pelatihan-pelatihan itu kebanyakan berupa pelatihan dasar yang belum terfokus pada ranah konflik khusus seperti konflik agraria dan kekayaan alam.

Sementara kedua hal itu dilakukan, masalah berikutnya adalah bagaimana menghubungkan permintaan dan sediaan itu. Inilah peran convener atau penyelenggara proses mediasi yang juga perlu dijalankan oleh lembaga-lembaga mediasi. Termasuk dalam hal ini adalah mengembangkan dan mengelola jejaring mediator (pool of mediators) yang siap untuk menangani kasus-kasus konflik yang ada.

Sebagian kegiatan di atas sudah dilakukan oleh berbagai pihak, baik pemerintah melalui unit-unit penanganan konflik dan sengketa maupun oleh lembaga-lembaga mediasi yang ada, hanya saja skala dan intensitasnya yang nampaknya belum memadai dan perlu ditingkatkan.

Tentu semua hal itu lebih mudah dikatakan daripada dilaksanakan. Masih banyak persoalan yang juga perlu diselesaikan, antara lain bagaimana dengan pendanaan kegiatan-kegiatan itu dan pembiayaan untuk kegiatan penanganan konflik yang sesungguhnya.

Sementara itu, apakah mediator sudah layak menjadi profesi pilihan Anda? Mungkin belum saat ini, tetapi yakinlah bahwa profesi ini benar-benar dibutuhkan dan akan menjadi pilihan yang layak dipertimbangkan di masa mendatang.

Credit foto oleh fajar raihan @harithdamncutecat di Unsplash