Perspektif Gender dalam Kebijakan terkait Mediasi sebagai Penyelesaian Konflik Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia

10 Juni 2017

Dalam kebijakan penyelesaian konflik lahan dan sumber daya alam, bagaimanakah kedudukan perempuan sebagai suatu entitas yang berdiri sendiri? Sebagai bagian dari solusi atau subjek terdampak dari konflik.

Pertanyaan diatas menjadi topik pembicaraan dalam sebuah diskusi bertema “Perspektif Gender dalam Kebijakan terkait Mediasi Penyelesaian Konflik Tanah dan Sumber Daya Alam” yang diselenggarakan oleh Conflict Resolution Unit (CRU) di Hotel Akmani Jakarta pada tanggal 8-9 Juni 2017. Diskusi diikuti oleh 75 peserta yang berasal dari perwakilan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat baik dari nasional maupun daerah dan mitra kerja CRU baik di Jakarta maupun daerah.

Agenda utama dari diskusi ini adalah pemaparan hasil temuan awal kajian tentang perspektif gender dalam kebijakan pemerintah terkait penyelesaian konflik lahan dan sumber daya alam. Kajian ini merupakan salah satu penelitian kerjasama antara KARSA (Lingkar Pembangunan Desa dan Agraria) dan CRU sebagai bagian dari kegiatan CRU untuk menggali dan mengkaji praktek terbaik proses penyelesaian konflik sumber daya alam dan lahan di Indonesia.

Diskusi dimaksudkan untuk menjaring input dan rekomendasi terhadap hasil temuan awal penelitian. Terutama untuk dapat mengidentifikasi persoalan mendasar terkait resolusi konflik dalam perspektif gender, mendapatkan masukan sebagai rekomendasi yang tepat bagi penyusunan kebijakan resolusi konflik serta penyusunan peta jalan bagi tercapainya resolusi konflik yang berperspektif gender.

Diskusi berjalan dengan presentasi hasil temuan dilanjutkan dengan tanggapan dari peserta. Beberapa masukan yang didapat antara lain adalah terkait batasan identifikasi masalah penelitian. Beberapa penanggap seperti Arimbi, perwakilan dari unsur pemerintah memberikan input agar lingkup penelitian tidak membatasi pada kelompok perempuan namun juga mengkaji kelompok marginal lainnya seperti anak-anak dan masyarakat adat.

Sementara Dr. Suraya Afiff, seorang antropolog UI menekankan pentingnya untuk memperhatikan relasi baik sosial maupun kuasa gender (bukan hanya perempuan) dalam proses mediasi dan membangun proses damai. “Hal yang mana akan membuat laporan penelitian ini lebih menarik”, lanjut Dr. Suraya.

Pandangan optimistik diberikan oleh Ichsan Malik, pakar resolusi konflik sumber daya alam dan lahan di Indonesia. Beliau menyoal tentang sifat bawaan perempuan yang cenderung menyukai perdamaian dan mengutamakan pendekatan persuasif sehingga berpotensi menjadi bagian dari solusi penyelesaian konflik. Namun demikian perempuan juga memiliki potensi sebagai pemimpin.

Beliau mencontohkan kisah inspiratif dari Muhammad Yunus dalam mengembangkan Grameen Bank. Grameen Bank dalam kurun waktu selama 12 tahun berhasil memberdayakan perempuan sebagai tokoh utama dalam pengembangan institusinya. Tidak cukup demikian, Grameen Bank juga mendudukkan perempuan sebagai pemimpin dari berbagai lini usahanya. “Perempuan memiliki visi damai yang lebih kuat daripada laki-laki, ini penting untuk ditelusuri”, jelasnya.

Diskusi 2 hari ini ditutup oleh Direktur Program Conflict Resolution Unit (CRU), Navitri Putri Guillaume yang mengapresiasi partisipasi aktif dari para peserta dalam hasil temuan awal dari kajian tentang kebijakan pemerintah terkait penyelesaian konflik lahan dan sumber daya alam dari perspektif gender. “Masukan dari para pembicara dan peserta akan membantu kami dalam merancang kegiatan dan program kerja kami sehingga lebih terarah dan tepat sasaran”, demikian diungkapkan oleh Navitri. Diskusi secara berkala juga akan dilakukan setiap tiga bulan sekali dalam upaya mengawal penelitian ini.(CRU/RN)